Minggu, 26 Juli 2015

Makanan Memiliki Dikotomi Mind ~ Body



Secara umum kita ketahui bahwa makanan (food) adalah suatu benda (substansi) yang dapat dikonsumsi oleh tubuh, baik diolah atau mentah, dan menghasilkan energi untuk beraktivitas.[1] Bagi ilmu pangan, makanan merupakan benda fisik khas yang mengandung berbagai nutrisi dengan berbagai sifat. Seperti, kopi yang memiliki zat kafein atau dalam buah jeruk terdapat vitamin C. Tetapi, yang mau dibahas di sini bukan mengenai hal itu. Namun, saya ingin menjelaskan bahwa dalam membicarakan makanan terdapat dikotomi, yaitu mind[2] dan body[3].
Mungkin sebagian orang percaya bahwa makanan jelas-jelas adalah sebuah materi (body) yang tidak ada hubungannya dengan jiwa atau imateri (mind), dan menyangka orang yang menganggap makanan itu imateri (mind) adalah orang yang tak waras. Hal itu mungkin karena makanan yang dianggap terlalu fisik, sehingga tak layak untuk direfleksi secara lebih mendalam.
Ditambah, makanan mengklaim kesehatan bagi manusia. Pada akhir abad keenam belas, Laksamana Hawkins mencatat dari pengalamannya sendiri bahwa ia mengetahui 10.000 pelaut meninggal karena penyakit gusi berdarah (scurvy). Pada tahun 1750-an, Kapten Cook dalam ekspedisi laut panjang ke Australia, menambahkan buah jeruk dan sayuran segar untuk makanan pelautnya. Hasilnya, penyakit gusi berdarah dapat dicegah atau bahkan disembuhkan. Baru di jaman sekarang, para peneliti menemukan vitamin C di dalam buah jeruk dan penyakit gusi berdarah adalah akibat kurangannya vitamin tersebut.[4]
Dan juga seperti makanan yang alami dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya, makanan utuh (rawfoods) yang telah mengalami sedikit atau tidak ada proses sama sekali, atau makanan mentah. Para pendukung pandangan tersebut percaya bahwa peningkatan asupan makanan mentah menghasilkan signifikan manfaat kesehatan. Mereka mengklaim bahwa mempromosikan penurunan berat badan, mencegah penyakit, dan membantu mengurangi dampak dari penyakit kronis.[5]
Dari pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa seolah-olah makanan memberikan kesehatan atau mengakibatkan penyakit, bila kekurangan makanan, dalam bentuk jasmani (body) saja. Padahal, makanan juga mempengaruhi aspek mental (mind).
Seperti misalnya, penyakit obesitas[6] yang umumnya disebabkan akibat terlalu banyak mengkonsumsi makanan. Padahal penyakit ini diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti faktor gen, perilaku makan, alkohol, merokok, dan lain-lain. Tetapi, yang mau ditekankan di sini adalah faktor psikisnya (mind). Sebab, orang yang obesitas itu percaya (belief) bahwa dengan makan sesuatu dirinya akan menjadi bahagia (belief happy). Penangkapan seorang obesitas bahwa makanan yang ada di depannya menimbulkan belief pada dirinya bahwa rasanya nikmat, sehingga orang itu menjadi bahagia. Hal ini membuat orang itu cepat-cepat ingin memakannya, yang didasarkan oleh state of mind-nya. Karena pada dasarnya bentuk fisik (body) dari makanan itu tidak bisa menyebabkan kita untuk memakannya, tetapi belief dari rasa nikmat yang dapat ditumbulkannya, hal ini terkait dengan mind. Oleh sebab itu, hal yang menimbulkan penyakit obesitas ini bukan karena terlalu banyak porsi makannya (secara bentuk materialnya atau body) saja, tetapi rasa nikmat yang ditimbulkan oleh makanan, yang mengakibatkan kebahagiaan (belief happy atau mind) pada diri seseorang tersus-menerus walau dirinya tak merasakan lapar. Terlihatlah bahwa makanan memiliki dikotomi mind and body.
Namun, para ahli neurologi menolak hal itu. Mereka berpendapat bahwa rasa nikmat yang ditumbulkan oleh makanan disebabkan saraf-saraf yang ada pada tubuh (body) kita, bukan karena belief atau mind kita akan rasa nikmat. Saraf-saraf kita yang kompleks memberikan rangsangan rasa nikmat ketika makanan dikonsumsi. Hal inilah yang menurut mereka perilaku kita dapat ditentukan. Karena, menurut mereka mind itu asal-usulnya adalah saraf atau material (body). Gagasan itu diperkuat dengan pemikiran Gilbert Ryle (1900-1976) yang menganggap mind sebagai sebuah entitas (entity), merupakan sebuah category mistake[7] (kesalahan kategori). Hal itu membuat rasa nikmat yang ditimbulkan oleh makanan ‘melekat’ (atau ‘dilekatkan’ oleh para neurologi) pada saraf-saraf atau body. Dan, menutur mereka kita ini tak memiliki belief atau mind. Sebab, memiliki mind adalah soal cara pandang kita yang mengatakan demikian, menempatkan apa yang kita pandang itu sebagai ‘bagian dari kita’, padahal belum tentu keadaannya demikian. Semata-mata mind hanya untuk memahami suatu tingkah laku dengan menerapkan sesuatu hal (belief, desire, intention, dan sebagainya), yang disebut juga sebagai action-oriented.
Tetapi, mereka tidak dapat menjelaskan kualitas (qualia)[8] rasa yang berbeda dari makanan tersebut. Misalnya, ada dua orang yang sedang mencicipi roti bakar yang sama. Orang pertama ditanyai bagaimana rasa roti tersebut, orang itu bilang bahwa rasa dari roti itu agak manis dan garing. Sedangkan, orang kedua ditanyai hal yang sama, tetapi ia bilang bahwa rasa dari roti bakar itu agak pahit dan sedikit gosong. Dari analogi itu, kita dapat simpulkan bahwa makanan yang sama menimbulkan kualitas (qualia) rasa yang berbeda pada diri seseorang. Di mana, makanan yang menimbulkan perbedaan kualitas rasa itu akibat kesadaran atau mind yang dimiliki seseorang untuk merasakan rasa dari suatu makanan itu sendiri. Kesadaran atau mind yang kita miliki, kita dapat merefleksikan rasa nikmat yang ada pada makanan yang kita konsumsi. Dengan kata lain, perbedaan kualitas (qualia) rasa pada makanan kita ketahui melalui mind dengan cara merefleksikan pengalaman ketika kita mengkonsumsi makanan. Dan merepresentasikannya pengalaman itu kedalam kita sehari-hari. Sebab, mental states kita memiliki aspek intrinsik yang sangat nyata, yaitu ‘bagaimana rasanya’ makanan itu (qualia preference). Misalnya, membedakan rasa apel dengan rasa jeruk, jelas rasa apel berbeda dengan rasa jeruk. Dalam hal itu, ada sesuatu yang mengatakan bagaimana merasakan sesuatu sebagai jeruk atau apel. Hal itu dikarenakan makanan pada sejatinya juga memiliki sisi mental atau mind.
Lagi pula, orang yang menyatakan makanan sebagai sebuah materi (body), sesungguhnya mereka mengakui adanya mind pada sifat makanan. Sebab mereka percaya (belief) kalau makanan itu adalah sebuah materi atau menimbulkan fisik (body). Di mana, belief seperti yang kita jelaskan ialah merupakan bagian dari mind itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya mind itu mendahului konsep materi (body) pada  sesuatu yang kita sebut makanan. Kita percaya (belief) makanan dapat membuat diri kita sehat; kita percaya (belief) kalau kekurangan makanan diri kita akan jatuh sakit; kita percaya (belief) makanan dapat membawakan rasa bahagia; dan sebagainya. Kita mengetahui atau percaya (belief) dulu kalau makanan itu sesuatu yang tertentu, sebab pada dirinya sendiri makanan tidak bisa menentukan siapa dirinya tersebut.
Seperti pemikiran George Berkeley (1685-1753) yang berpendapat bahwa  mind adalah pihak pengatur dan penata hal-hal yang ada di luar kita, hubungan antara hal-hal material event dan mental event yang ditimbulkan oleh makanan adalah hasil ‘pernyataan’ dari mind. Pada pokoknya, makanan itu memberikan subjektivitas (subjectivity) atau mind pada diri manusia. Aspek-aspek materi (body) pada makanan tidak disangkal, tetapi dikembalikan pada subjektivitas.[9] Hal itu tidak menolak objek material (body) pada makanan. Tetapi, yang ditolak adalah makanan, tanpa isi pemahaman tentang makanan. Dapat digambarkan seperti, saat saya ‘sadar’ rasa lezat pada durian, saya dapat ‘ide’ tentang durian. Maksudnya, saya sadar dan saya dapat ide bukan sesuatu hal yang saling berurutan, tetapi sesuatu yang muncul secara bersamaan. hal tersebut menegaskan bahwa mind-independent world sebagai sesuatu yang tidak masuk akal.
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa suatu makanan yang fisik (body) menghasilkan akibat di dalam jiwa (mind) lewat rasa nikmat yang ditimbulkan membuat seseorang jadi bahagia, dan juga sebaliknya. Dalam hal ini, saya tidak membahas bagaimana relasi antara mind dan body tersebut. Tetapi, yang ingin saya tekankan di sini ialah bahwa suatu makanan ternyata memiliki sisi dikotomi mind and body.
Dengan demikian, makanan dianggap sebagai materi (body) oleh sebagian orang, tidak sepenuhnya benar. Karena, ternyata makanan juga memiliki aspek mind, atau bahkan mind-lah yang membangun gagasan makanan sebagai sebuah materi (body). Hal ini terlihat ketika ada dua orang atau lebih yang mencicipi suatu makanan yang sama, tetapi kualitas rasanya (qualia) bisa saja berbeda. Oleh sebab itu, makanan ternyata dalam dirinya memiliki dikotomi mind dan body, yang bukan hanya persoal materi (body) saja, namun juga soal mental (mind).






Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia)
Bakker, Anton. 2000. Antropologi Metafisika (Yogyakarta: Kanisius)
Lean, Michael E. J. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Magee, Bryan.2001. The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius)
Pojman, Paul. 2012. Food Ethics (Boston: Wadsworth)
Stich, Stephen P. dan Ted A. Warfield (edt). 2003.The Blackwell Guide to Philosophy of Mind (USA: Blackwell)


[1] Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 3.
[2] Mind (res cogita) adalah sesuatu yang bebas, tak terbagikan, tak terhancurkan, diketahui secara langsung. Esensi substansi mental adalah kesadaran (consciousness) dan pikiran (thinking) , dari Aristoteles.
[3] Body (res extensa) adalah sesuatu yang tidak bebas, dapat hancur, dapat dibagi-bagi, diketahui secara tidak langsung. Esensi substansi material adalah ekstensi (menempati ruang)
[4] Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 51-52.
[5] Lihat Paul Pojman. 2012. Food Ethics (Boston: Wadsworth) hlm. 2.
[6] Obesitas didefinisikan secara medis ialah seseorang yang memiliki indeks massa tubuh (BMI) 30 kg/m2 atau lingkar pinggang >102cm untuk laki-laki dan lingkar pinggang >88cm untuk perempuan. Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 87.
[7] Category mistake (dalam hal ini) menganggap bahwa mental atau mind sebagai sesuatu yang memiliki kategori tersendiri, padahal tidak.
[8] Dari bahasa Latin yang berarti sifat, kodrat, keadaan, jenis, kondisi. Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia) hlm. 923.
[9] Lihat Anton Bakker. 2000. Antropologi Metafisika (Yogyakarta: Kanisius) hlm. 97.


Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar