Kamis, 16 Juli 2015

Dirty Hands Sebagai Pembentuk Stabilitas Negara

Pada kesempatan kali ini saya akan memaparkan sedikit tema skripsi yang saya bahas. Saya akan memberikan abstrak serta latar belakang permasalahan yang ada dalam skripsi saya. Jika anda ingin membaca full version skripsi saya, anda dapat membacanya di perpustakaan UI kampus depok atau mencari di website lib.ui.ac.id.





DIRTY HANDS SEBAGAI PEMBENTUK STABILITAS NEGARA
(Kritik Atas Moralisme Dalam Politik)


Abstrak

Politics is an understanding to manage, administer policies, and decision-making for people welfare. However, often political action can not be separated from dirty hands in order to achieve political goal. Machiavelli suggests that political actors must learn how not to be good. In the contemporary times, discussion about dirty hands raised again in the writings of Michael Walzer. Walzer says that dirty hands need for a political actor when no other alternative but to violate morality rules for the sake of political goal or to avoid the possibility of a threat. Discussion about dirty hands with morality requires critical reflection to find a way out in order to find the right political action.

Keywords: Dirty Hands, Political Actors, Morality, Moral Absolute, Moral Consequentialist, Moral Dilemma, Emergency Situations, Machiavelli, Michael Walzer.



Pendahuluan
        Konsepsi politik[1] merupakan suatu bentuk pemahaman perkara mengelola, menyelenggarakan kebijakan, dan pengambilan keputusan untuk menyejahterakan rakyat. Manusia disebut juga sebagai zoon politicon[2], di mana manusia diartikan sebagai hewan (makhluk) yang bermasyarakat. Dengan kata lain, manusia memiliki kodrat untuk mengorganisir diri dan sesamanya guna mencapai tujuan. Namun, deskripsi orang mengenai politik berkonotasi negatif. Karena kerap kali dalam tindakannya, politik melanggar moralitas. Politik mengalami degradasi bahwa politik selalu diklaim sebagai tindakan yang melanggar kaidah moral[3], di mana moralitas menjadi patokan dalam menentukan tindakan politik guna mencapai suatu keputusan yang tepat. Padahal, dalam ranah politik tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan moral, khususnya moralisme. Hal ini membuat politik sering disalah artikan dalam maksud yang sebenarnya. Perihal politik dimengerti bukan semata-mata bertentangan dengan nilai kebaikan yang ada pada diri manusia tetapi apa yang tak terhindarkan dalam nilai kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian, dalam tindakannya, politik terkadang melakukan pelanggaran terhadap moral yang sering disebut sebagai tindakan yang kotor atau ‘tangan kotor’ (dirty hands).
Dalam kaitannya dengan dirty hands, perlu membedakan antara moralisme dengan moralitas. Moralisme adalah pandangan yang menitik beratkan pada nilai moral dan menganggap nilai moral sebagai nilai yang paling luhur, sehingga kewajiban manusia terutama adalah menyelenggarakan nilai moral itu. Hal itu tentu saja membuat beberapa hal lain menjadi tidak penting. Berbeda dengan moralisme, moralitas dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat. Dirty hands merupakan suatu tindakan yang masih memiliki penilaian terhadap moral, tetapi terkadang perlu melanggar moral bila terjadi benturan antara dua nilai moral.
Dalam tindakannya, dirty hands bukan penilaian atas baik atau buruk suatu tindakan, tetapi bertolak dari segi keefektifan tindakan itu dalam politik. Hal itu mengantarkan cita-cita politik untuk menciptakan kehidupan bernegara. Dirty hands sangat efektif bagi penguasa dalam menjalankan politiknya, terlebih lagi dalam situasi darurat. Karena mempertimbangakan hal yang baik dan buruk, bukan urusan politik dan kalaupun dipikirkan akan memerlukan waktu yang lama. Hal itu bermaksud untuk melihat moralitas dalam konteksnya bukan berdasarkan atas nilai-nilai absolut moral semata. Dengan kata lain, pemahaman yang melebih-lebihkan nilai moral harus dapat dipisahkan dalam ranah politik, karena bisa menjadi penghalang bagi politik. Untuk itu, politik dapat dipahami sebagai apa yang nyatanya dilakukan oleh penguasa, bukan apa yang seharusnya dilakukan.
Tidak dapat dipungkiri dalam menjalanan pemerintahan, penguasa dan para aktor politik bertindak kotor. Namun, dirty hands itu merupakan cara yang efektif guna mengantarkan penguasa untuk mencapai tujuan stabilitas negara. Hal ini menjadi sesuatu yang paradoks bila dilihat dari sudut pandang etika politik. Di satu sisi, tindakan itu tidak dapat dibenarkan karena melanggar moralitas. Dan, di sisi lain, tindakan itu benar dikarenakan mengantarkan pada tujuan dalam berpolitik.
Penguasa sebagai peran yang melakoni dirty hands harus mampu dalam melaksanakan tindakan tersebut, walau melanggar berbagai keyakinan moral, yang sempat dia pegang, untuk mencapai apa yang disebut sebagai tindakan politik yang tepat. Pada titik ini penguasa mengalami apa yang disebut sebagai dilema moral. Penguasa mengetahu bahwa tindakannya bisa membawa pada keburukan atau kebaikan, tergantung pada pilihan penguasa. Namun, penguasa harus memikirkan segera cara yang dapat menyelamatkan sebanyak mungkin warganya atau meminimalkan jatuhnya korban.
Permasalahan yang muncul ialah mencoba mempertimbangkan kembali konsepsi moral yang ada pada tindakan politik, khususnya dalam dirty hands. Hal ini berkaitan dengan moralitas yang selalu menjadi pembicaraan bila membahas dirty hands, yaitu moral absolutisme dan konsekuensialisme. Di mana dirty hands selalu disamakan dengan moral konsekuensialis dan bertentangan dengan moral absolut.
Selain itu, permasalahan juga muncul dalam diri seorang penguasa dalam melakukan dirty hands. Dalam melakukan politik dirty hands, penguasa sadar bahwa tindakannya itu dapat melanggar moralitas. Pada kasus ini, membahas tentang dilema moral yang dialami penguasa saat melakukan dirty hands. Kesadaran penguasa akan konteks sosial dan pemahamannya dari apa yang merupakan tindakan politis menjadi fokus perhatian.
Untuk mengatasi permasalahan itu dibutuhkan pemahaman tentang dinamika antara tindakan politik dengan tuntutan-tuntutan moral yang mengaku melandasi tindakan politik (yaitu seperti tuntutan moral absolut serta tuntutan moral konsekuensialis dalam bertindak). Kompleksitas permasalahan itu timbul karena dalam filsafat politik belum menemukan apa yang disebut sebagai politik yang tepat.
       Potret politik pada masa ini memang penuh dengan kerumitan mengenai moralitas. Permasalahan tentang dirty hands membawa relevansi pemikiran Machiavelli pada filsafat politik kontemporer. Pembahasan mengenai persoalan dirty hands dengan moralitas itu membutuhkan refleksi kritis untuk menemukan jalan keluar guna menemukan tindakan politik yang tepat. Hal itu menuntut untuk menemukan koherensi kerangka pemikiran yang paling tepat dalam politik untuk bertindak. Masalah ini didasari atas kompleksitas hubungan antara filsafat, politik, dan moral.



[1] Inggris: politics; dari Yunani politikos (menyangkut warganegara) polites (seorang warganegara) polis (kota, negara) politeia (kewargaan). Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat, hlm. 857
[2] Kata zoon politicon merupakan padanan kata dari kata zoon yang berarti "hewan" dan kata politicon yang berarti "bermasyarakat". Secara harfiah zoon politicon berarti hewan yang bermasyarakat.
[3] Inggris: Moral; dari Latin moralismos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Lihat Loren Bagus, op.cit, hlm. 672



Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar