Rabu, 13 Agustus 2014

Seputar Post-modernisme



Post-modernisme[1] telah menjadi salah satu tema diskusi masa kini. Perbincangan seputar post-modernisme bermula dan bersumber dari tradisi filsafat Prancis. Tokoh yang memperkenalkan istilah dan pengertian post-modern ke dalam diskursus filsafat ialah Jean-Francois Lyotard (1924-1998). Lyotard merupakan filsuf Perancis kontemporer pertama yang membawa diskusi post-modernisme melalui karyanya The Postmodern Condition, A Report on Knowledge. Memang kajian post-modernisme Lyotard tidak hanya mencakup bidang filsafat, tetapi juga kajian-kajian terhadap bidang lain (seperti status pengetahuan ilmiah).
Post-modernisme tampil sebagai reaksi atas ketidaksanggupan modernitas menepati janji-janjinya. Janji emansipasi dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakberanian untuk menjadi makhluk yang otonom, ternyata bermuara pada totalitarianisme. Cita-cita emansipasi dan ketunggalan rasio ternyata menghasilkan penjajahan dalam kerangkeng uniformisasi. Untuk itu, post-modernisme hadir sebagai sikap skeptisisme[2] terhadap otoritas, politik, norma-norma budaya, dan lain-lain. Skeptis pada adanya metanarasi[3] (grand-narrative) karena permasalahan yang partikular harus dijelaskan dengan narasi-narasi kecil juga untuk dapat menyelesaikannya. Sikap skeptis ini dimunculkan oleh Nietzsche, dimana kita diajak untuk mengkritisi konsep kebenaran yang telah menjadi bentuk otoritas, maupun nilai dan norma dalam struktur sosial masyarakat.
Diskusi post-modernisme ini juga mencakup pembahasan post-strukturalisme, dimana post-strukturalisme merupakan perlawanan dari strukturalisme. Post-strukturalisme merupakan bagian dari pemikiran post-modernisme. Sebab dalam post-modernisme, walau agak berbeda secara keseluruhan, memiliki kesamaan sifat tertentu seperti skeptisisme, anti-foundational, dan tidak suka pada otoritas. Post-strukturalisme merupakan suatu gerakan yang melingkupi berbagai disiplin intelektual yang telah melibatkan berbagai penolakan, bukan hanya strukturalisme dan metode, tetapi juga asumsi ideologis yang melatar belakanginya.  
Post-modernisme menjadi semakin populer ketika Jacques Derrida mengeluarkan teori dekonstruksinya. Metode dekonstruksi merupakan suatu metode yang dapat memecahkan (pembongkaran) suatu sistem pemaknaan yang bersifat tetap, isi dari suatu struktur, dimana strukturnya sendiri tidak bisa didekonstruksi sebab pendekonstruksian itu menjadi sebuah struktur baru. Dengan dekonstruksi, diharapkan menidak-pusatkan (decentring) logos sehingga akan ada kekayaan makna yang muncul. Ini disebabkan paradigma kita tentang realitas tidak bisa keluar dari teks. Derrida menolak pemikiran strukturalis Ferdinand de Saussure yang begitu keras menekankan makna pada oposisi biner, sebagai sebuah struktur tetap teks. Karena sikap seperti ini akan membuat setiap makna yang dihasilkan menjadi final dan tertutup.
Derrida sendiri kadang menyebut teks sebagai tulisan, jejak, suplemen, perbedaan, sisa, keberulangan, dan tanda. Semua itu dimaksudkan untuk memberikan penekanan terhadap makna yang senantiasa terhubung  dengan penanda lain, suatu intertekstualitas. Sehingga pengertian suatu makna tidak tetap. Usaha Derrida tersebut bertujuan untuk membuat teks tidak lagi stabil, digoyangkan (destabilisasi). Jadi, teks bisa dimaknai berkali-kali, dengan cara yang berbeda-beda, dan selalu menunjukan instabilitas inherennya.
Pemikirannya Derrida dianut dan sangat sejalan dengan semangat aliran post-modernisme. Tetapi, Lyotard tetap pemikir yang paling berpengaruh terhadap filsafat post-modern, yang mengenali dasar-dasar post-modern dan juga yang memperkenalkannya kepada kita. Pada awal karirnya Lyotard digambarkan sebagai seorang Marxis. Tetapi, optimisme Lyotard akan Marxisme sebagai teori yang mampu menjelaskan segala keadaan masyarakat yang sekaligus menciptakan msyarakat ideal (masyarakat komunis), lama-kelamaan sirna. Karena Marxisme tidak mampu lagi mencakup berbagai persoalan libido (hasrat) dari setiap individu yang mengalami. Yang salah dari Marxisme ialah bahwa ia mencoba menekan hasrat, dan dengan demikian mengungkapkan otoritarianisme latennya (anti-oedipus). Pada kenyataannya perilaku individu tidak semudah yang dibayangkan oleh Marxisme (psikoanalisis Freud sangat membantu untuk memahami kompleksitas bawah sadar kita).
Pemikiran Marxisme tersebut tidak dapat memprediksi fenomena-fenomena yang anomali, seperti munculnya komunitas Feminisme. Ini karena di dalam pemikiran Marxisme terdapat narasi besar atau metanarasi sendiri yang dapat menjelaskan dunia, yang pada akhirnya tidak bisa. Sehingga, Lyotard memberikan pendapat bahwa narasi kecil adalah cara yang paling inventif menyebarkan dan menciptakan pengetahuan bahwa mereka dapat terbantu untuk memecah monopoli tradisional yang dilakukan oleh narasi besar.[4] Tujuan Lyotard adalah untuk menghancurkan otoritas metasarasi, itu diperlukan untuk menjadikan setiap individu kreatif.
Apa yang kita diperintahkan untuk lakukan ialah tidak untuk melawan metanarasi besar tetapi hanya berhenti mempercayai itu, dalam hal ini, metanarasi akan diasumsikan melenyap. Meskipun ini adalah pandangan yang agak idealis. Dalam postmodern, hal acuan rakyat hanya berhenti percaya pada ideologi yang berlaku, yang kemudian tidak lagi memiliki otoritas untuk menegakkan kehendaknya. Dimana kondisi itu mengakui tidak adanya kriteria yang mutlak, kondisi itu disebut sebagai paganisme, dan itu akan menjadi ideal bagaimana kita harus melihat dunia di masa post-modern. Suatu saat ada kejadian yang tidak dapat diprediksi atau tercakup dalam setiap teori universal yang rapi, ini adalah bukti adanya keterbatasan narasi, dan juga merupakan keterbukaan penting dari masa depan. Keterbukaan ini menjadi sebuah pembicaraan ke arah post-modernis.[5]
Ada satu lagi pemikir yang cukup penting dalam post-modernisme, yairu Jean Baudrillard. Baudrillard merupakan filsuf Prancis. Dia datang untuk mengkritisi Marxisme dan strukturalisme. Menurut Baudrillard, dunia post-modernisme ialah dunia simulacra. Kondisi saat kita tidak bisa lagi membedakan antara realitas dan simulasi. Dalam kehidupan, banyak pengaruh yang berdatangan dari mana-mana, seperti imaji-imaji dalam film, TV, internet, dan iklan telah mengakibatkan hilangnya pembedaan antara hal yang nyata dan mana yang bukan (realitas dan ilusi). Sehingga suatu budaya menjadi hyper-realitas, yang mengikis pembedaan di antara hal-hal tersebut.
Filsafat post-modern secara umum melihat tidak perlu untuk konfrontasi langsung dengan sistem kekuasaan, tetapi lebih ditekankan bagaimana sistem tersebut dapat dibuat untuk meledak atau hancur dengan sendirinya. Reaksi terhadap doktrin Marxisme dalam karya pemikir seperti Lyotard dan Baudrillard dapat dianggap sebagai bagian dari lagi tren budaya yang sekarang dikenal sebagai Post-marxisme. Marxisme perlu untuk menyelaraskan diri dengan berbagai gerakan sosial baru yang telah bermunculan (misalnya feminisme, etnis minoritas dan homoseksual). Dengan kata lain, Marxisme harus merangkul pluralisme politik untuk dapat diterima kebenarannya. Laclau dan Mouffe mengklaim bahwa Marxisme perlu direvisi drastis, atau harus berusaha untuk menjadi pluralis, tidak lagi berpegang pada kebenaran yang universal.
Pluralitas[6] yang dialami juga merupakan pluralitas dalam kehidupan seseorang. Ada pluralitas peran yang harus manusia mainkan dalam kehidupannya. Dengan hilangnya ideal yang otoritatif, menawarkan apa yang dapat dan boleh diambil setiap orang untuk menjadi semakin plural. Apa bila dalam kondisi modern orang hanya dapat peran sebagai pekerja di tempat tertentu, berasal dari negara tertentu, memeluk agama tertentu, mempuntai gaya dan nilai-nilai hidup tertentu. Maka dalam kondisi post-modern, tidak menganggap adanya ketunggalan indentitas lagi. Dalam waktu yang singkat dan mungkin pada tempat yang sama, seseorang dapat memainkan beberapa peran sekaligus. Yang jadi masalah  ialah bahwa aturan-aturan yang mengikat orang pada sejumlah peran yang berbeda itu tidak dimungkinkan adanya keterhubungan, malah saling bertentangan. Dengan demikian orang memaikan peran-peran yang sebenarnya saling bertentangan dalam kehidupan yang sama. Sehingga hidup menjadi semakin fragmentaris. Frgmentasi adalah kenyataan yang mempertanyakan titik pusat dan kesatuan. Hidup yang fragmentaris ialah hidup yang kesatuannya dipertanyakan.
Jadi, post-modernisme merupakan sebuah kerangka skeptisisme baru atau versi baru dari skeptisisme, yang bermaksud untuk mendestabilisasi teori-teori. Walaupun demikian,  tentu saja sikap skeptis terhadap klaim suatu teori, memiliki sistem tersendiri. Sehingga post-modernisme tidak bisa lepas dari struktur dan metanarasi. Sebab, pluralitas tidak bisa diterpakan secara radikal di dalam kenyataan, hanya pluralitas semu yang bisa terjadi. Sebuah studi yang lebih mendalam mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat modern dan post-modern yang berdialektika dengan ilmu pengetahuan dapat menunjukan bahwa modernitas tidak sehomogen yang dicela Lyotard, dan pluralitas post-modern tidak seradikal yang dipromosikannya. Oleh sebab itu, post-modernisme tidak lebih hanya sebagai alat skeptis baru terhadap kondisi-kondisi yang terjadi di masa kontemporer.



Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia)
Gaut, Willy. 2011. Filsafat Post-modernisme: Jean-Francois Lyotard (Flores: Ledalero)
Sim, Stuart. The Routledge Companion to Postmodernism. Routledge Publishing. London & New York: 2001




[1] Post-modern berarti sesudah, yang kemudian dari atau yang mengikuti yang modern.
[2] Inggris skepticism, dari Yunani skepsis (pertimbangan atau keraguan). Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia), hal. 1017
[3] Metanarasi bersifat universal dan total,  tidak menawarkan peluang bagi heterogenitas.
[4] “Lyotard considers that little narratives are the most inventive way of disseminating, and creating, knowledge,  and that they help to break down the monopoly  traditionally  exercised  by grand narratives.” Lihat Sim, Stuart. The Routledge Companion to Postmodernism. Routledge Publishing. London & New York: 2001. hal. 9
[5] “This openness becomes an article offaith to postmodernists: the future must not be considered to be determined in advance such that all human effort is rendered meaningless.” Ibid. hal. 10
[6] Inggris: pluralism. Dari bahasa Latin pluralis (jamak). Realitas fundamental bersifat jamak. Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia), hal. 857




Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-

Senin, 28 Juli 2014

Deontologi dan Utilitarianisme



Etika Deontologi
Deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban dan logos berarti ilmu atau teori. Jadi, secara harfia istilah ini semacam ‘teori tentang kewajiban’. Secara umum deontik menunjuk pada apa saja yang bertalian dengan konsep keniscayaan (keharusan) atau dengan kewajiban (tugas). Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik.
Kritik              : Teori deontologi terlalu ideal, terlalu membeda-bedakan mana yang baik atau buruk, dan itu sifatnya niscaya (harus). Teori ini tidak memberikan manfaat atau berguna dalam perilaku atau perbuatan bagi kehidupan sehari-hari yang begitu kompleks. Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatannya.
Contoh kritik : Industri rokok mau memajukan bangsa Indonesia dalam bidang olahraga dengan memberikan dana sebanyak-banyaknya, tetapi produknya dapat memberikan dampak buruk bagi orang-orang (menjadi perokok aktif ataupun pasif). Bila hanya dilihat dari teori deontologi, hal buruk ini tidak boleh dilakukan. Namun, jika kita mau memajukan bidang olahraga Indonesia yang kekurangan dana, maka kita harus mengambil dana dari industri rokok tersebut.

Etika Utilitarianisme
            Bertolak dari nama utilitarianisme (berasal dari kata Latin utilis, berguna), utilitarianisme mau menyamakan kebaikan moral dengan manfaat. Kadang-kadang disebut juga sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu atau dua orang, melainkan masyarakat sebagai keseluruhan (sebanyak-banyaknya). Sebaliknya, membedakan perbuatan mana yang jahat atau buruk adalah hal yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.
Kritik             : Teori utilitarianisme hanya memfokuskan diri pada hal-hal yang berguna saja, tanpa memberikan pembedaan terhadap baik-buruknya suatu perbuatan. Dalam teori utilitarisme terlalu menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, tidak benar-benar memperhatikan aspek dari moralitas perbuatan itu sendiri.
Contoh Kritik: Ada seseorang yang mencuri barang orang lain. Kita tahu bahwa tindakan mencuri itu salah, tetapi orang yang mencuri itu terpaksa melakukan hal tersebut demi bertahan hidup. Namun, cara yang dilakukan orang yang mencuri itu tetap salah karena kenapa dia tidak melakukan hal lain yang tidak menyebabkan kerugian terhadap orang lain, seperti bekerja atau membuka usaha.


Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia)
Magnis Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius)



Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-

Senin, 21 Juli 2014

Manusia Dikutuk Untuk Bebas.


Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Eksistensialismenya bertitik tolak pada paham kebebasan manusia. Manusia setelah diciptakan, mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur hidupnya sendiri. Kesadaran ini adalah hasil tempaan pengalaman-pengalaman yang ia hadapi selama menjalani tugas kemiliterannya. Penderitaan, kekejaman perang, penganiayaan, dan segala bentuk penindasan eksistensi, manusia, menghantar Sartre untuk meneropong problem kebebasan manusia dalam bereksistensi. Pengalaman perang dunia kedua nyatanya telah memberi kesadaran baru pada Sartre mengenai eksistensi manusia.[1] Kini perenungan filsafat (khususnya bidang eksistensialisme) dibawa oleh Sartre pada kenyataan konkret, karena Sartre ingin menolak pernyataan dari pihak kristiani “According to the Catholic critic, Mlle. Mercier, we forget how an infant smiles.”[2] Pada titik ekstremnya, pola pemikiran rasionalisme yang bertitik tolak pada pemikiran Descartes bahwa “saya berpikir jadi saya ada” (Cogito Ergo Sum) dilawan dalam dialektika pemikiran eksistensialis bahwa “saya ada maka saya juga berpikir”, bahwa menurut Sartre eksistensi itu hadir mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif.
Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Man is, indeed, a project which possesses a subjective life, instead of being a kind of moss, or a fungus or a cauliflower.”[3] Subjektivitas Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis, bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia.
 Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. action dan bukan quietism (kepasifan). Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is.”[4] Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. “What counts is the total commitment, and it is not by a particular case or particular action that you are committed altogether.”[5] Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Ini disebut humanisme karena mengingatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri, betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.



[1] Lihat FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, hal. 101
[2] Lihat Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, hal. 287
[3] Ibid. hlm.291
[4] Ibid. hlm.300.
[5] Ibid. hlm.302.


Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-

Sabtu, 19 Juli 2014

Sejarah Filsafat Yunani: Thales dan Aristoteles


Thales
Para filsuf perintis ini muncul di Yunani kuno pada abad 6 SM. Tokoh yang biasanya dianggap sebagai filsuf paling awal adalah Thales. Ia orang Yunani yang tinggal di Miletos, di pesisir Asia Kecil yang sekarang disebut Turki. Karena nama kota itu, Thales dan para pengikutnya dikenal juga sebagai aliran Milesian.
Catatan tentang tokoh ini banyak dongeng beredar yang tidak dapat dipercaya kebenarannya. Hampir semua fakta yang kita ketahui tentang hidupnya, kita dengar dari sejarawan Herodotos, tetapi Herodotos tidak menyebutnya dengan nama “filsuf” dan tidak menceritakan kearifannya sebagai filsuf. Baru Aristoteles mengenakan kepada Thales gelar “filsuf yang pertama”.
Tidak diketahui persis kapan Thales lahir dan mati, namun kita tahu bahwa ia hidup sekitar tahun 580-an SM karena ia pernah dengan jitu meramalkan gerhana matahari pada tahun 585 SM. Dengan alasan Thales pantas disebut ilmuwan alam dan filsuf analitis Barat pertama dalam jejak sejarah perjalanan pemikiran filsuf Barat.Thales aktif dalam bidang politik dan juga seorang ahli teknik sipil yang berhasil membelokkan aliran sungai Hylas sehingga raja Croesus dapat menyeberang. Ia juga mendapatkan predikat sebagai figur seorang entrepreneur. Berkat pengetahuannya tentang perbintangan, meski saat itu musim dingin ia tahu bahwa akan terjadi panen buah zaitun, lalu ia berinvestasi uangnya untuk mengadakan mesin pemeras minyak zaitun sebelum panen raya dan menjadikannya kaya  raya dari bisnis itu. Jadi ia membuktikan pada dunia bahwa para filsuf bisa kaya dengan gampang jika mereka mau. Hanya saja ambisi mereka menuju ke arah lain.
Thales tidak menuliskan pikiran-pikannya atau sekurang-kurangnya tentang itu tidak ada kesaksian apa pun. Aristoteles adalah sumber utama untuk pengetahuan kita mengenai ajaran Thales. Aristoteles sendiri mendapat informasinya dari tradisi lisan saja. Dalam traktatnya tentang metafisika Aristoteles mengatakan bahwa Thales termasuk filsuf yang mencari arkhe (asas atau prinsip) alam semesta, malah bahwa ia merupakan yang pertama dari antara mereka itu. Thales menyimpulkan bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah air, hanya wujudnya bermacam-macam. Ia mengamati bahwa pada temperatur rendah air menjadi padat dan pada temperatur tinggi air menjadi gas. Setelah turun hujan, tumbuhan pun muncul dari dalam tanah, sehingga menimbulkan kesan bahwa tumbuhan adalah air dalam wujud lain. Aristoteles tidak tahu dengan pasti karena alasan apakah Thales menentukan air sebagai zat asali alam semesta.




Aristoteles
Aristoteles lahir di Stagira pada 384 SM. Ayah aristoteles adalah seorang tabib kerajaan Makedonia. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, lalu ia dibesarkan oleh seorang wali yang mengirimnya ke Athena pada usia 17 tahun untuk belajar di Akademi Plato. Aristoteles tinggal di Akademi itu selama kurang lebih 20 tahun. Kelak, sekitar tahun 355 SM, ia mendirikan sekolahnya sendiri di Athena yang disebut Lyceum. Aristoteles meninggal pada tahun 322 SM pada usia 62 tahun.
Menurut Aristoteles, hanya ada satu dunia saja yang dapat kita filsafati, yakni dunia yang kita tinggali dan kita alami. Baginya, dunia ini amat mengagumkan dan penuh daya pesona yang tiada habisnya. Bahkan, perasaan kagum inilah yang pertama-tama menyebabkan orang berfilsafat, entah sebagai seorang pribadi maupun sebagai satu spesies. Inilah dunia yang ingin mereka ketahui dan ingin mereka pahami. Aristoteles tidak percaya bahwa kita dapat memperoleh suatu landasan pijak yang kuat di luar dunia ini untuk melacak pertanyaan-pertanyaan filosofis kita.
Hasrat Aristoteles untuk tahu mengenai dunia pengalaman ini bagaikan dahaga yang tak terpuaskan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah ia memetakan bidang-bidang ilmu pengetahuan. Karyanya dalam bidang-bidang itu dipakai orang untuk menamai bidang-bidang itu, antara lain logika, fisika, politik, ekonomi, psikologi, metafisika, meteorologi, retorika, dan etika.Yang terpenting, Aristoteles mensistematisasikan logika dengan menelaah manakah bentuk-bentuk penyimpulan yang valid dan mana yang tidak. Filsafatnya, serta teori politik, moral, dan estetikanya, masih tetap berpengaruh sampai hari ini.
Aristoteles menyimpulkan bahwa sesuatu tidaklah sama dengan unsur-unsur yang membentuknya. Dicontohkannya sebuah rumah. Ia mengimpulkan bahan bangunan ke lahan, memang segala material yang diperlukan untuk membangun rumah sudah ada, tapi rumahnya belum ada. Tentu saja, sebuah rumah pasti dibangun dari suatu material, namun bukan material-material itu yang membuatnya menjadi sebuah rumah, melainkan justru struktur dan bentuknya.
Menurut Aristoteles, bentuk menyebabkan sesuatu menjadi ada sebagai dirinya. Ia menguraikan konsep “bentuk” sebagai empat jenis “sebab” yang berbeda namun saling melengkapi. Empat “sebab” ini merupakan alasan-alasan mengapa sesuatu menjadi seperti adanya sekarang, atau dapat kita sebut empat “penyebab”. Bentuk adalah penjelasan dari segala hal. Keempat penyebab itu adalah penyebab material, penyebab efisien, penyebab formal, penyabab final.
Aristoteles selalu memandang bahwa hakikat sejati dari objek apa pun bukan zat-zat yang membentuknya namun fungsi yang dijalankannya.Prinsip ini diterapkan juga terhadap objek-objek tak bernyawa. Andaikan kapak memiliki jiwa, maka kapak itu tetap akan menetak. Menurutnya, hakikat suatu hal adalah apa yang dilakukannya, untuk apa benda itu. Dengan cara ini kita memahami konsep Aristoteles tentang jiwa, bentuk, dan penyebab final.
Ia mulai dengan proposisi bahwa  setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia dalam arti sepenuh-penuhnya. Menurutnya, kehidupan yang bahagia dapat dicapai manakala orang dapat menjalankan dan mengembangkan segala kapasitas dirinya secara maksimal dan sesuai dengan kehidupan dalam sebuah masyarakat. Aristoteles mengajukan doktrinnya yang terkenal, yang disebut “jalan tengah emas” (the golden mean), yakni titik tengah di antara dua ekstrem yang masing-masing sama buruk. Misalnya, kemurahan hati adalah jalan tengah antara boros dan kikir. Menurutnya, inilah jalan untuk meraih kebahagiaan.
Menurut Aristoteles, tujuan pemerintah adalah memungkinkan para warganya memperoleh hidup yang penuh dan bahagia. Hanya dengan menjadi anggota masyarakatlah seorang individu dapat memperolehnya. Salah satu filsafat politiknya adalah pandangan bahwa negara harus memampukan. Fungsi negara adalah memungkinkan perkembangan dan kebahagiaan individu.
Tragedi dalam bentuk puisi, yang menurut Aristoteles dapat memberikan kita lebih banyak wawasan tantang kehidupan daripada pelajaran sejarah.Kata Aristoteles, emosi yang kita alami pada saat menyaksikan sebuah drama tragedi menjadi proses katarsis, suatu pemurnian atau pencucian, melalui rasa iba dan takut. Aristoteles menekankan bahwa sebuah plot harus memiliki “awal, tengah, dan akhir”.

Pendapat Pribadi
Para filsuf Yunani menghasilkan pemikirannya sendiri yang sangat mengagumkan dan tanpa ragu untuk mengeluarkan pendapatnya dengan menggunakan rasio, tanpa merujuk pada agama, wahyu, autoritas, ataupun tradisi.Sejarah Filsafat Yunani ini perlu dipelajari untuk siapa saja yang haus akan pengetahuan. Dan, penting untuk mengetahui aliran-aliran filsafat yang ada di jaman sekarang, karena semua aliran filsafat yang ada bermula dari peradaban Yunani.



Bahan Bacaan
Bertens, K.1999. SejarahFilsafatYunani.Yogyakarta: Kanisius
Copleston, F.1993. A History of Philosophy. New York: Doubleday
Magee, Bryan.2001. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius
Russell, B.1961. A History of Western Philosophy. London: George Allen & Unwin
Yuana, Kumara A.2010. The Greatest Philosophers. Yogyakarta: Andi



Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-