Rabu, 13 Agustus 2014

Seputar Post-modernisme



Post-modernisme[1] telah menjadi salah satu tema diskusi masa kini. Perbincangan seputar post-modernisme bermula dan bersumber dari tradisi filsafat Prancis. Tokoh yang memperkenalkan istilah dan pengertian post-modern ke dalam diskursus filsafat ialah Jean-Francois Lyotard (1924-1998). Lyotard merupakan filsuf Perancis kontemporer pertama yang membawa diskusi post-modernisme melalui karyanya The Postmodern Condition, A Report on Knowledge. Memang kajian post-modernisme Lyotard tidak hanya mencakup bidang filsafat, tetapi juga kajian-kajian terhadap bidang lain (seperti status pengetahuan ilmiah).
Post-modernisme tampil sebagai reaksi atas ketidaksanggupan modernitas menepati janji-janjinya. Janji emansipasi dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakberanian untuk menjadi makhluk yang otonom, ternyata bermuara pada totalitarianisme. Cita-cita emansipasi dan ketunggalan rasio ternyata menghasilkan penjajahan dalam kerangkeng uniformisasi. Untuk itu, post-modernisme hadir sebagai sikap skeptisisme[2] terhadap otoritas, politik, norma-norma budaya, dan lain-lain. Skeptis pada adanya metanarasi[3] (grand-narrative) karena permasalahan yang partikular harus dijelaskan dengan narasi-narasi kecil juga untuk dapat menyelesaikannya. Sikap skeptis ini dimunculkan oleh Nietzsche, dimana kita diajak untuk mengkritisi konsep kebenaran yang telah menjadi bentuk otoritas, maupun nilai dan norma dalam struktur sosial masyarakat.
Diskusi post-modernisme ini juga mencakup pembahasan post-strukturalisme, dimana post-strukturalisme merupakan perlawanan dari strukturalisme. Post-strukturalisme merupakan bagian dari pemikiran post-modernisme. Sebab dalam post-modernisme, walau agak berbeda secara keseluruhan, memiliki kesamaan sifat tertentu seperti skeptisisme, anti-foundational, dan tidak suka pada otoritas. Post-strukturalisme merupakan suatu gerakan yang melingkupi berbagai disiplin intelektual yang telah melibatkan berbagai penolakan, bukan hanya strukturalisme dan metode, tetapi juga asumsi ideologis yang melatar belakanginya.  
Post-modernisme menjadi semakin populer ketika Jacques Derrida mengeluarkan teori dekonstruksinya. Metode dekonstruksi merupakan suatu metode yang dapat memecahkan (pembongkaran) suatu sistem pemaknaan yang bersifat tetap, isi dari suatu struktur, dimana strukturnya sendiri tidak bisa didekonstruksi sebab pendekonstruksian itu menjadi sebuah struktur baru. Dengan dekonstruksi, diharapkan menidak-pusatkan (decentring) logos sehingga akan ada kekayaan makna yang muncul. Ini disebabkan paradigma kita tentang realitas tidak bisa keluar dari teks. Derrida menolak pemikiran strukturalis Ferdinand de Saussure yang begitu keras menekankan makna pada oposisi biner, sebagai sebuah struktur tetap teks. Karena sikap seperti ini akan membuat setiap makna yang dihasilkan menjadi final dan tertutup.
Derrida sendiri kadang menyebut teks sebagai tulisan, jejak, suplemen, perbedaan, sisa, keberulangan, dan tanda. Semua itu dimaksudkan untuk memberikan penekanan terhadap makna yang senantiasa terhubung  dengan penanda lain, suatu intertekstualitas. Sehingga pengertian suatu makna tidak tetap. Usaha Derrida tersebut bertujuan untuk membuat teks tidak lagi stabil, digoyangkan (destabilisasi). Jadi, teks bisa dimaknai berkali-kali, dengan cara yang berbeda-beda, dan selalu menunjukan instabilitas inherennya.
Pemikirannya Derrida dianut dan sangat sejalan dengan semangat aliran post-modernisme. Tetapi, Lyotard tetap pemikir yang paling berpengaruh terhadap filsafat post-modern, yang mengenali dasar-dasar post-modern dan juga yang memperkenalkannya kepada kita. Pada awal karirnya Lyotard digambarkan sebagai seorang Marxis. Tetapi, optimisme Lyotard akan Marxisme sebagai teori yang mampu menjelaskan segala keadaan masyarakat yang sekaligus menciptakan msyarakat ideal (masyarakat komunis), lama-kelamaan sirna. Karena Marxisme tidak mampu lagi mencakup berbagai persoalan libido (hasrat) dari setiap individu yang mengalami. Yang salah dari Marxisme ialah bahwa ia mencoba menekan hasrat, dan dengan demikian mengungkapkan otoritarianisme latennya (anti-oedipus). Pada kenyataannya perilaku individu tidak semudah yang dibayangkan oleh Marxisme (psikoanalisis Freud sangat membantu untuk memahami kompleksitas bawah sadar kita).
Pemikiran Marxisme tersebut tidak dapat memprediksi fenomena-fenomena yang anomali, seperti munculnya komunitas Feminisme. Ini karena di dalam pemikiran Marxisme terdapat narasi besar atau metanarasi sendiri yang dapat menjelaskan dunia, yang pada akhirnya tidak bisa. Sehingga, Lyotard memberikan pendapat bahwa narasi kecil adalah cara yang paling inventif menyebarkan dan menciptakan pengetahuan bahwa mereka dapat terbantu untuk memecah monopoli tradisional yang dilakukan oleh narasi besar.[4] Tujuan Lyotard adalah untuk menghancurkan otoritas metasarasi, itu diperlukan untuk menjadikan setiap individu kreatif.
Apa yang kita diperintahkan untuk lakukan ialah tidak untuk melawan metanarasi besar tetapi hanya berhenti mempercayai itu, dalam hal ini, metanarasi akan diasumsikan melenyap. Meskipun ini adalah pandangan yang agak idealis. Dalam postmodern, hal acuan rakyat hanya berhenti percaya pada ideologi yang berlaku, yang kemudian tidak lagi memiliki otoritas untuk menegakkan kehendaknya. Dimana kondisi itu mengakui tidak adanya kriteria yang mutlak, kondisi itu disebut sebagai paganisme, dan itu akan menjadi ideal bagaimana kita harus melihat dunia di masa post-modern. Suatu saat ada kejadian yang tidak dapat diprediksi atau tercakup dalam setiap teori universal yang rapi, ini adalah bukti adanya keterbatasan narasi, dan juga merupakan keterbukaan penting dari masa depan. Keterbukaan ini menjadi sebuah pembicaraan ke arah post-modernis.[5]
Ada satu lagi pemikir yang cukup penting dalam post-modernisme, yairu Jean Baudrillard. Baudrillard merupakan filsuf Prancis. Dia datang untuk mengkritisi Marxisme dan strukturalisme. Menurut Baudrillard, dunia post-modernisme ialah dunia simulacra. Kondisi saat kita tidak bisa lagi membedakan antara realitas dan simulasi. Dalam kehidupan, banyak pengaruh yang berdatangan dari mana-mana, seperti imaji-imaji dalam film, TV, internet, dan iklan telah mengakibatkan hilangnya pembedaan antara hal yang nyata dan mana yang bukan (realitas dan ilusi). Sehingga suatu budaya menjadi hyper-realitas, yang mengikis pembedaan di antara hal-hal tersebut.
Filsafat post-modern secara umum melihat tidak perlu untuk konfrontasi langsung dengan sistem kekuasaan, tetapi lebih ditekankan bagaimana sistem tersebut dapat dibuat untuk meledak atau hancur dengan sendirinya. Reaksi terhadap doktrin Marxisme dalam karya pemikir seperti Lyotard dan Baudrillard dapat dianggap sebagai bagian dari lagi tren budaya yang sekarang dikenal sebagai Post-marxisme. Marxisme perlu untuk menyelaraskan diri dengan berbagai gerakan sosial baru yang telah bermunculan (misalnya feminisme, etnis minoritas dan homoseksual). Dengan kata lain, Marxisme harus merangkul pluralisme politik untuk dapat diterima kebenarannya. Laclau dan Mouffe mengklaim bahwa Marxisme perlu direvisi drastis, atau harus berusaha untuk menjadi pluralis, tidak lagi berpegang pada kebenaran yang universal.
Pluralitas[6] yang dialami juga merupakan pluralitas dalam kehidupan seseorang. Ada pluralitas peran yang harus manusia mainkan dalam kehidupannya. Dengan hilangnya ideal yang otoritatif, menawarkan apa yang dapat dan boleh diambil setiap orang untuk menjadi semakin plural. Apa bila dalam kondisi modern orang hanya dapat peran sebagai pekerja di tempat tertentu, berasal dari negara tertentu, memeluk agama tertentu, mempuntai gaya dan nilai-nilai hidup tertentu. Maka dalam kondisi post-modern, tidak menganggap adanya ketunggalan indentitas lagi. Dalam waktu yang singkat dan mungkin pada tempat yang sama, seseorang dapat memainkan beberapa peran sekaligus. Yang jadi masalah  ialah bahwa aturan-aturan yang mengikat orang pada sejumlah peran yang berbeda itu tidak dimungkinkan adanya keterhubungan, malah saling bertentangan. Dengan demikian orang memaikan peran-peran yang sebenarnya saling bertentangan dalam kehidupan yang sama. Sehingga hidup menjadi semakin fragmentaris. Frgmentasi adalah kenyataan yang mempertanyakan titik pusat dan kesatuan. Hidup yang fragmentaris ialah hidup yang kesatuannya dipertanyakan.
Jadi, post-modernisme merupakan sebuah kerangka skeptisisme baru atau versi baru dari skeptisisme, yang bermaksud untuk mendestabilisasi teori-teori. Walaupun demikian,  tentu saja sikap skeptis terhadap klaim suatu teori, memiliki sistem tersendiri. Sehingga post-modernisme tidak bisa lepas dari struktur dan metanarasi. Sebab, pluralitas tidak bisa diterpakan secara radikal di dalam kenyataan, hanya pluralitas semu yang bisa terjadi. Sebuah studi yang lebih mendalam mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat modern dan post-modern yang berdialektika dengan ilmu pengetahuan dapat menunjukan bahwa modernitas tidak sehomogen yang dicela Lyotard, dan pluralitas post-modern tidak seradikal yang dipromosikannya. Oleh sebab itu, post-modernisme tidak lebih hanya sebagai alat skeptis baru terhadap kondisi-kondisi yang terjadi di masa kontemporer.



Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia)
Gaut, Willy. 2011. Filsafat Post-modernisme: Jean-Francois Lyotard (Flores: Ledalero)
Sim, Stuart. The Routledge Companion to Postmodernism. Routledge Publishing. London & New York: 2001




[1] Post-modern berarti sesudah, yang kemudian dari atau yang mengikuti yang modern.
[2] Inggris skepticism, dari Yunani skepsis (pertimbangan atau keraguan). Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia), hal. 1017
[3] Metanarasi bersifat universal dan total,  tidak menawarkan peluang bagi heterogenitas.
[4] “Lyotard considers that little narratives are the most inventive way of disseminating, and creating, knowledge,  and that they help to break down the monopoly  traditionally  exercised  by grand narratives.” Lihat Sim, Stuart. The Routledge Companion to Postmodernism. Routledge Publishing. London & New York: 2001. hal. 9
[5] “This openness becomes an article offaith to postmodernists: the future must not be considered to be determined in advance such that all human effort is rendered meaningless.” Ibid. hal. 10
[6] Inggris: pluralism. Dari bahasa Latin pluralis (jamak). Realitas fundamental bersifat jamak. Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia), hal. 857




Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-