Senin, 21 Juli 2014

Manusia Dikutuk Untuk Bebas.


Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Eksistensialismenya bertitik tolak pada paham kebebasan manusia. Manusia setelah diciptakan, mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur hidupnya sendiri. Kesadaran ini adalah hasil tempaan pengalaman-pengalaman yang ia hadapi selama menjalani tugas kemiliterannya. Penderitaan, kekejaman perang, penganiayaan, dan segala bentuk penindasan eksistensi, manusia, menghantar Sartre untuk meneropong problem kebebasan manusia dalam bereksistensi. Pengalaman perang dunia kedua nyatanya telah memberi kesadaran baru pada Sartre mengenai eksistensi manusia.[1] Kini perenungan filsafat (khususnya bidang eksistensialisme) dibawa oleh Sartre pada kenyataan konkret, karena Sartre ingin menolak pernyataan dari pihak kristiani “According to the Catholic critic, Mlle. Mercier, we forget how an infant smiles.”[2] Pada titik ekstremnya, pola pemikiran rasionalisme yang bertitik tolak pada pemikiran Descartes bahwa “saya berpikir jadi saya ada” (Cogito Ergo Sum) dilawan dalam dialektika pemikiran eksistensialis bahwa “saya ada maka saya juga berpikir”, bahwa menurut Sartre eksistensi itu hadir mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif.
Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Man is, indeed, a project which possesses a subjective life, instead of being a kind of moss, or a fungus or a cauliflower.”[3] Subjektivitas Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis, bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia.
 Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. action dan bukan quietism (kepasifan). Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is.”[4] Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. “What counts is the total commitment, and it is not by a particular case or particular action that you are committed altogether.”[5] Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Ini disebut humanisme karena mengingatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri, betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.



[1] Lihat FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, hal. 101
[2] Lihat Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, hal. 287
[3] Ibid. hlm.291
[4] Ibid. hlm.300.
[5] Ibid. hlm.302.


Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar