Filsuf eksistensialis
Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Eksistensialismenya
bertitik tolak pada paham kebebasan manusia. Manusia setelah diciptakan, mempunyai
kebebasan untuk menentukan dan mengatur hidupnya sendiri. Kesadaran ini adalah
hasil tempaan pengalaman-pengalaman yang ia hadapi selama menjalani tugas
kemiliterannya. Penderitaan, kekejaman perang, penganiayaan, dan segala bentuk
penindasan eksistensi, manusia, menghantar Sartre untuk meneropong problem
kebebasan manusia dalam bereksistensi. Pengalaman perang dunia kedua nyatanya
telah memberi kesadaran baru pada Sartre mengenai eksistensi manusia.[1]
Kini perenungan filsafat (khususnya bidang eksistensialisme) dibawa oleh Sartre
pada kenyataan konkret, karena Sartre ingin menolak pernyataan dari pihak
kristiani “According to the Catholic
critic, Mlle. Mercier, we forget how an infant smiles.”[2]
Pada titik ekstremnya, pola pemikiran rasionalisme yang bertitik tolak pada
pemikiran Descartes bahwa “saya berpikir jadi saya ada” (Cogito Ergo Sum)
dilawan dalam dialektika pemikiran eksistensialis bahwa “saya ada maka saya
juga berpikir”, bahwa menurut Sartre eksistensi itu hadir mendahului esensi dan
karenanya kita harus mulai dari yang subjektif.
Subjektivitas yang
dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu
mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja.
“Man
is, indeed, a project which possesses a subjective life, instead of being a
kind of moss, or a fungus or a cauliflower.”[3]
Subjektivitas Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis, bahwa manusia
adalah manusia (man is), sesuatu yang
mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia
lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka
manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme
yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya,
ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun
hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas
individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat
manusia.
Manusia itu bebas,
manusia adalah bebas. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk
sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan
terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala
sesuatu yang ia lakukan. Action
(tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna
memberi makna pada kemanusiaan. action
dan bukan quietism (kepasifan).
Dengan kata lain, “Man is nothing else
but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is
therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his
life is.”[4]
Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang
sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan
dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini
dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah,
sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. “What counts is the total commitment, and it is not by a particular
case or particular action that you are committed altogether.”[5]
Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen
kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan humanisme Sartre
dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di
level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Ini disebut humanisme
karena mengingatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri, betapapun
ditinggalkan (abandoned) ia harus
memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri,
namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, sejumlah realisasi tertentu,
manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh
manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun
penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat
menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah
Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah
ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna
menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak secara
konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.
[1] Lihat FX. Mudji Sutrisno &
F. Budi Hardiman, Para Filsuf Penentu
Gerak Zaman, hal. 101
[2] Lihat Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, hal.
287
[3] Ibid. hlm.291
[4] Ibid. hlm.300.
[5] Ibid. hlm.302.
Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar