Pada kesempatan kali ini saya akan memaparkan sedikit tema skripsi yang saya bahas. Saya akan memberikan abstrak serta latar belakang permasalahan yang ada dalam skripsi saya. Jika anda ingin membaca full version skripsi saya, anda dapat membacanya di perpustakaan UI kampus depok atau mencari di website lib.ui.ac.id.
DIRTY
HANDS SEBAGAI
PEMBENTUK STABILITAS NEGARA
(Kritik Atas Moralisme Dalam Politik)
Abstrak
Politics is an
understanding to manage, administer policies, and decision-making for people
welfare. However, often political action can not be separated from dirty hands
in order to achieve political goal. Machiavelli suggests that political actors must
learn how not to be good. In the contemporary times, discussion about dirty hands
raised again in the writings of Michael Walzer. Walzer says that dirty hands need
for a political actor when no other alternative but to violate morality rules
for the sake of political goal or to avoid the possibility of a threat.
Discussion about dirty hands with morality requires critical reflection to find
a way out in order to find the right political action.
Keywords: Dirty
Hands, Political Actors, Morality, Moral Absolute, Moral Consequentialist,
Moral Dilemma, Emergency Situations, Machiavelli, Michael Walzer.
Pendahuluan
Konsepsi politik[1] merupakan
suatu bentuk pemahaman perkara mengelola, menyelenggarakan kebijakan, dan
pengambilan keputusan untuk menyejahterakan rakyat. Manusia disebut juga
sebagai zoon politicon[2],
di mana manusia diartikan sebagai hewan (makhluk) yang bermasyarakat. Dengan
kata lain, manusia memiliki kodrat untuk mengorganisir diri dan sesamanya guna
mencapai tujuan. Namun, deskripsi orang mengenai politik berkonotasi negatif.
Karena kerap kali dalam tindakannya, politik melanggar moralitas. Politik
mengalami degradasi bahwa politik selalu diklaim sebagai tindakan yang
melanggar kaidah moral[3], di mana
moralitas menjadi patokan dalam menentukan tindakan politik guna mencapai suatu
keputusan yang tepat. Padahal, dalam ranah politik tidak ada sangkut pautnya
dengan persoalan moral, khususnya moralisme. Hal ini membuat politik sering
disalah artikan dalam maksud yang sebenarnya. Perihal politik dimengerti bukan
semata-mata bertentangan dengan nilai kebaikan yang ada pada diri manusia
tetapi apa yang tak terhindarkan dalam nilai kemanusiaan itu sendiri. Dengan
demikian, dalam tindakannya, politik terkadang melakukan pelanggaran terhadap
moral yang sering disebut sebagai tindakan yang kotor atau ‘tangan kotor’ (dirty hands).
Dalam kaitannya dengan dirty hands, perlu membedakan antara
moralisme dengan moralitas. Moralisme adalah pandangan yang menitik beratkan
pada nilai moral dan menganggap nilai moral sebagai nilai yang paling luhur,
sehingga kewajiban manusia terutama adalah menyelenggarakan nilai moral itu.
Hal itu tentu saja membuat beberapa hal lain menjadi
tidak penting. Berbeda dengan moralisme, moralitas dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau
buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan
buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau
suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat. Dirty hands merupakan suatu tindakan
yang masih memiliki penilaian terhadap moral, tetapi terkadang perlu melanggar
moral bila terjadi benturan antara dua nilai moral.
Dalam tindakannya, dirty hands bukan penilaian atas baik
atau buruk suatu tindakan, tetapi bertolak dari segi keefektifan tindakan itu
dalam politik. Hal itu mengantarkan cita-cita politik untuk menciptakan
kehidupan bernegara. Dirty hands
sangat efektif bagi penguasa dalam menjalankan politiknya, terlebih lagi dalam
situasi darurat. Karena mempertimbangakan hal yang baik dan buruk, bukan urusan
politik dan kalaupun dipikirkan akan memerlukan waktu yang lama. Hal itu
bermaksud untuk melihat moralitas dalam konteksnya bukan berdasarkan atas
nilai-nilai absolut moral semata. Dengan kata lain, pemahaman yang
melebih-lebihkan nilai moral harus dapat dipisahkan dalam ranah politik, karena
bisa menjadi penghalang bagi politik. Untuk itu, politik dapat dipahami sebagai
apa yang nyatanya dilakukan oleh penguasa, bukan apa yang seharusnya dilakukan.
Tidak dapat dipungkiri
dalam menjalanan pemerintahan, penguasa dan para aktor politik bertindak kotor.
Namun, dirty hands itu merupakan cara
yang efektif guna mengantarkan penguasa untuk mencapai tujuan stabilitas
negara. Hal ini menjadi sesuatu yang paradoks bila dilihat dari sudut pandang
etika politik. Di satu sisi, tindakan itu tidak dapat dibenarkan karena
melanggar moralitas. Dan, di sisi lain, tindakan itu benar dikarenakan
mengantarkan pada tujuan dalam berpolitik.
Penguasa sebagai peran
yang melakoni dirty hands harus mampu
dalam melaksanakan tindakan tersebut, walau melanggar berbagai keyakinan moral,
yang sempat dia pegang, untuk mencapai apa yang disebut sebagai tindakan
politik yang tepat. Pada titik ini penguasa mengalami apa yang disebut sebagai
dilema moral. Penguasa mengetahu bahwa tindakannya bisa membawa pada keburukan
atau kebaikan, tergantung pada pilihan penguasa. Namun, penguasa harus
memikirkan segera cara yang dapat menyelamatkan sebanyak mungkin warganya atau
meminimalkan jatuhnya korban.
Permasalahan yang
muncul ialah mencoba mempertimbangkan kembali konsepsi moral yang ada pada
tindakan politik, khususnya dalam dirty
hands. Hal ini berkaitan dengan moralitas yang selalu menjadi pembicaraan
bila membahas dirty hands, yaitu
moral absolutisme dan konsekuensialisme. Di mana dirty hands selalu disamakan dengan moral konsekuensialis dan
bertentangan dengan moral absolut.
Selain itu,
permasalahan juga muncul dalam diri seorang penguasa dalam melakukan dirty hands. Dalam melakukan politik dirty hands, penguasa sadar bahwa
tindakannya itu dapat melanggar moralitas. Pada kasus ini, membahas tentang
dilema moral yang dialami penguasa saat melakukan dirty hands. Kesadaran penguasa akan konteks sosial dan
pemahamannya dari apa yang merupakan tindakan politis menjadi fokus perhatian.
Untuk mengatasi
permasalahan itu dibutuhkan pemahaman tentang dinamika antara tindakan politik
dengan tuntutan-tuntutan moral yang mengaku melandasi tindakan politik (yaitu
seperti tuntutan moral absolut serta tuntutan moral konsekuensialis dalam
bertindak). Kompleksitas permasalahan itu timbul karena dalam filsafat politik
belum menemukan apa yang disebut sebagai politik yang tepat.
Potret politik pada masa ini memang penuh dengan
kerumitan mengenai moralitas. Permasalahan tentang dirty hands membawa relevansi pemikiran Machiavelli pada filsafat
politik kontemporer. Pembahasan mengenai persoalan dirty hands dengan moralitas itu membutuhkan refleksi kritis untuk
menemukan jalan keluar guna menemukan tindakan politik yang tepat. Hal itu
menuntut untuk menemukan koherensi kerangka pemikiran yang paling tepat dalam
politik untuk bertindak. Masalah ini didasari atas kompleksitas hubungan antara
filsafat, politik, dan moral.
[1] Inggris: politics; dari Yunani politikos
(menyangkut warganegara) polites
(seorang warganegara) polis (kota,
negara) politeia (kewargaan). Lihat
Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat,
hlm. 857
[2] Kata zoon politicon merupakan padanan kata dari kata zoon yang berarti "hewan" dan
kata politicon yang berarti
"bermasyarakat". Secara harfiah zoon
politicon berarti hewan yang bermasyarakat.
[3] Inggris: Moral; dari Latin moralis
– mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat,
watak, akhlak, cara hidup). Lihat Loren Bagus, op.cit, hlm. 672
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar