Secara
umum kita ketahui bahwa makanan (food)
adalah suatu benda (substansi) yang dapat dikonsumsi oleh tubuh, baik diolah
atau mentah, dan menghasilkan energi untuk beraktivitas.[1]
Bagi ilmu pangan, makanan merupakan benda fisik khas yang mengandung berbagai
nutrisi dengan berbagai sifat. Seperti, kopi yang memiliki zat kafein atau
dalam buah jeruk terdapat vitamin C. Tetapi, yang mau dibahas di sini bukan
mengenai hal itu. Namun, saya ingin menjelaskan bahwa dalam membicarakan
makanan terdapat dikotomi, yaitu mind[2]
dan body[3].
Mungkin
sebagian orang percaya bahwa makanan jelas-jelas adalah sebuah materi (body) yang tidak ada hubungannya dengan jiwa
atau imateri (mind), dan menyangka
orang yang menganggap makanan itu imateri (mind)
adalah orang yang tak waras. Hal itu mungkin karena makanan yang dianggap
terlalu fisik, sehingga tak layak untuk direfleksi secara lebih mendalam.
Ditambah,
makanan mengklaim kesehatan bagi manusia. Pada akhir abad keenam belas,
Laksamana Hawkins mencatat dari pengalamannya sendiri bahwa ia mengetahui
10.000 pelaut meninggal karena penyakit gusi berdarah (scurvy). Pada tahun 1750-an, Kapten Cook dalam ekspedisi laut
panjang ke Australia, menambahkan buah jeruk dan sayuran segar untuk makanan
pelautnya. Hasilnya, penyakit gusi berdarah dapat dicegah atau bahkan
disembuhkan. Baru di jaman sekarang, para peneliti menemukan vitamin C di dalam
buah jeruk dan penyakit gusi berdarah adalah akibat kurangannya vitamin
tersebut.[4]
Dan
juga seperti makanan yang alami dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya, makanan
utuh (rawfoods) yang telah mengalami
sedikit atau tidak ada proses sama sekali, atau makanan mentah. Para pendukung
pandangan tersebut percaya bahwa peningkatan asupan makanan mentah menghasilkan
signifikan manfaat kesehatan. Mereka mengklaim bahwa mempromosikan penurunan
berat badan, mencegah penyakit, dan membantu mengurangi dampak dari penyakit
kronis.[5]
Dari
pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa seolah-olah makanan memberikan
kesehatan atau mengakibatkan penyakit, bila kekurangan makanan, dalam bentuk
jasmani (body) saja. Padahal, makanan
juga mempengaruhi aspek mental (mind).
Seperti
misalnya, penyakit obesitas[6]
yang umumnya disebabkan akibat terlalu banyak mengkonsumsi makanan. Padahal
penyakit ini diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti faktor gen, perilaku
makan, alkohol, merokok, dan lain-lain. Tetapi, yang mau ditekankan di sini
adalah faktor psikisnya (mind).
Sebab, orang yang obesitas itu percaya (belief)
bahwa dengan makan sesuatu dirinya akan menjadi bahagia (belief happy). Penangkapan seorang obesitas bahwa makanan yang ada
di depannya menimbulkan belief pada
dirinya bahwa rasanya nikmat, sehingga orang itu menjadi bahagia. Hal ini
membuat orang itu cepat-cepat ingin memakannya, yang didasarkan oleh state of mind-nya. Karena pada dasarnya
bentuk fisik (body) dari makanan itu
tidak bisa menyebabkan kita untuk memakannya, tetapi belief dari rasa nikmat yang dapat ditumbulkannya, hal ini terkait
dengan mind. Oleh sebab itu, hal yang
menimbulkan penyakit obesitas ini bukan karena terlalu banyak porsi makannya
(secara bentuk materialnya atau body)
saja, tetapi rasa nikmat yang ditimbulkan oleh makanan, yang mengakibatkan
kebahagiaan (belief happy atau mind) pada diri seseorang tersus-menerus
walau dirinya tak merasakan lapar. Terlihatlah bahwa makanan memiliki dikotomi mind and body.
Namun,
para ahli neurologi menolak hal itu. Mereka berpendapat bahwa rasa nikmat yang
ditumbulkan oleh makanan disebabkan saraf-saraf yang ada pada tubuh (body) kita, bukan karena belief atau mind kita akan rasa nikmat. Saraf-saraf kita yang kompleks
memberikan rangsangan rasa nikmat ketika makanan dikonsumsi. Hal inilah yang
menurut mereka perilaku kita dapat ditentukan. Karena, menurut mereka mind itu asal-usulnya adalah saraf atau
material (body). Gagasan itu
diperkuat dengan pemikiran Gilbert Ryle (1900-1976) yang menganggap mind sebagai sebuah entitas (entity),
merupakan sebuah category mistake[7]
(kesalahan kategori). Hal itu membuat rasa nikmat yang ditimbulkan oleh makanan
‘melekat’ (atau ‘dilekatkan’ oleh para neurologi) pada saraf-saraf atau body. Dan, menutur mereka kita ini tak
memiliki belief atau mind. Sebab, memiliki mind adalah soal cara pandang kita yang
mengatakan demikian, menempatkan apa yang kita pandang itu sebagai ‘bagian dari
kita’, padahal belum tentu keadaannya demikian. Semata-mata mind hanya untuk memahami suatu tingkah
laku dengan menerapkan sesuatu hal (belief,
desire, intention, dan sebagainya), yang disebut juga sebagai action-oriented.
Tetapi,
mereka tidak dapat menjelaskan kualitas (qualia)[8]
rasa yang berbeda dari makanan tersebut. Misalnya, ada dua orang yang sedang
mencicipi roti bakar yang sama. Orang pertama ditanyai bagaimana rasa roti
tersebut, orang itu bilang bahwa rasa dari roti itu agak manis dan garing.
Sedangkan, orang kedua ditanyai hal yang sama, tetapi ia bilang bahwa rasa dari
roti bakar itu agak pahit dan sedikit gosong. Dari analogi itu, kita dapat
simpulkan bahwa makanan yang sama menimbulkan kualitas (qualia) rasa yang berbeda pada diri seseorang. Di mana, makanan
yang menimbulkan perbedaan kualitas rasa itu akibat kesadaran atau mind yang dimiliki seseorang untuk
merasakan rasa dari suatu makanan itu sendiri. Kesadaran atau mind yang kita miliki, kita dapat
merefleksikan rasa nikmat yang ada pada makanan yang kita konsumsi. Dengan kata
lain, perbedaan kualitas (qualia)
rasa pada makanan kita ketahui melalui mind
dengan cara merefleksikan pengalaman ketika kita mengkonsumsi makanan. Dan
merepresentasikannya pengalaman itu kedalam kita sehari-hari. Sebab, mental states kita memiliki aspek
intrinsik yang sangat nyata, yaitu ‘bagaimana rasanya’ makanan itu (qualia preference). Misalnya, membedakan
rasa apel dengan rasa jeruk, jelas rasa apel berbeda dengan rasa jeruk. Dalam
hal itu, ada sesuatu yang mengatakan bagaimana merasakan sesuatu sebagai jeruk
atau apel. Hal itu dikarenakan makanan pada sejatinya juga memiliki sisi mental
atau mind.
Lagi
pula, orang yang menyatakan makanan sebagai sebuah materi (body), sesungguhnya mereka mengakui adanya mind pada sifat makanan. Sebab mereka percaya (belief) kalau makanan itu adalah sebuah materi atau menimbulkan
fisik (body). Di mana, belief seperti yang kita jelaskan ialah
merupakan bagian dari mind itu
sendiri. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya mind itu mendahului konsep materi (body) pada sesuatu yang kita
sebut makanan. Kita percaya (belief)
makanan dapat membuat diri kita sehat; kita percaya (belief) kalau kekurangan makanan diri kita akan jatuh sakit; kita
percaya (belief) makanan dapat
membawakan rasa bahagia; dan sebagainya. Kita mengetahui atau percaya (belief) dulu kalau makanan itu sesuatu
yang tertentu, sebab pada dirinya sendiri makanan tidak bisa menentukan siapa
dirinya tersebut.
Seperti
pemikiran George Berkeley (1685-1753) yang berpendapat bahwa mind
adalah pihak pengatur dan penata hal-hal yang ada di luar kita, hubungan antara
hal-hal material event dan mental event yang ditimbulkan oleh
makanan adalah hasil ‘pernyataan’ dari mind.
Pada pokoknya, makanan itu memberikan subjektivitas (subjectivity) atau mind
pada diri manusia. Aspek-aspek materi (body)
pada makanan tidak disangkal, tetapi dikembalikan pada subjektivitas.[9]
Hal itu tidak menolak objek material (body)
pada makanan. Tetapi, yang ditolak adalah makanan, tanpa isi pemahaman tentang
makanan. Dapat digambarkan seperti, saat saya ‘sadar’ rasa lezat pada durian,
saya dapat ‘ide’ tentang durian. Maksudnya, saya sadar dan saya dapat ide bukan
sesuatu hal yang saling berurutan, tetapi sesuatu yang muncul secara bersamaan.
hal tersebut menegaskan bahwa mind-independent
world sebagai sesuatu yang tidak masuk akal.
Dari
pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa suatu makanan yang fisik (body) menghasilkan akibat di dalam jiwa
(mind) lewat rasa nikmat yang
ditimbulkan membuat seseorang jadi bahagia, dan juga sebaliknya. Dalam hal ini,
saya tidak membahas bagaimana relasi antara mind
dan body tersebut. Tetapi, yang ingin
saya tekankan di sini ialah bahwa suatu makanan ternyata memiliki sisi dikotomi
mind and body.
Dengan
demikian, makanan dianggap sebagai materi (body)
oleh sebagian orang, tidak sepenuhnya benar. Karena, ternyata makanan juga
memiliki aspek mind, atau bahkan mind-lah yang membangun gagasan makanan
sebagai sebuah materi (body). Hal ini
terlihat ketika ada dua orang atau lebih yang mencicipi suatu makanan yang
sama, tetapi kualitas rasanya (qualia)
bisa saja berbeda. Oleh sebab itu, makanan ternyata dalam dirinya memiliki
dikotomi mind dan body, yang bukan hanya persoal materi (body) saja, namun juga soal mental (mind).
Daftar
Pustaka
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia)
Bakker,
Anton. 2000. Antropologi Metafisika
(Yogyakarta: Kanisius)
Lean,
Michael E. J. 2013. Ilmu Pangan, Gizi
& Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Magee, Bryan.2001. The Story of Philosophy (Yogyakarta:
Kanisius)
Pojman, Paul. 2012. Food Ethics (Boston: Wadsworth)
Stich,
Stephen P. dan Ted A. Warfield (edt). 2003.The
Blackwell Guide to Philosophy of Mind (USA: Blackwell)
[1] Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi
ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 3.
[2] Mind (res cogita) adalah
sesuatu yang bebas, tak terbagikan, tak terhancurkan, diketahui secara
langsung. Esensi substansi mental adalah kesadaran (consciousness) dan pikiran (thinking)
, dari Aristoteles.
[3] Body (res extensa) adalah
sesuatu yang tidak bebas, dapat hancur, dapat dibagi-bagi, diketahui secara
tidak langsung. Esensi substansi material adalah ekstensi (menempati ruang)
[4] Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi
ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 51-52.
[5] Lihat Paul Pojman. 2012. Food Ethics (Boston: Wadsworth) hlm. 2.
[6] Obesitas didefinisikan secara
medis ialah seseorang yang memiliki indeks massa tubuh (BMI) 30 kg/m2
atau lingkar pinggang >102cm untuk laki-laki dan lingkar pinggang >88cm untuk
perempuan. Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu
Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm.
87.
[7] Category mistake (dalam hal ini) menganggap bahwa mental atau mind sebagai sesuatu yang memiliki
kategori tersendiri, padahal tidak.
[8] Dari bahasa Latin yang berarti
sifat, kodrat, keadaan, jenis, kondisi. Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia) hlm.
923.
[9] Lihat Anton Bakker. 2000. Antropologi Metafisika (Yogyakarta:
Kanisius) hlm. 97.
Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-