Post-modernisme[1] telah menjadi
salah satu tema diskusi masa kini. Perbincangan seputar post-modernisme bermula dan bersumber dari tradisi filsafat Prancis.
Tokoh yang memperkenalkan istilah dan pengertian post-modern ke dalam diskursus filsafat ialah Jean-Francois Lyotard
(1924-1998). Lyotard merupakan filsuf Perancis kontemporer pertama yang membawa
diskusi post-modernisme melalui
karyanya The Postmodern Condition, A
Report on Knowledge. Memang kajian post-modernisme
Lyotard tidak hanya mencakup bidang filsafat, tetapi juga kajian-kajian
terhadap bidang lain (seperti status pengetahuan ilmiah).
Post-modernisme tampil sebagai
reaksi atas ketidaksanggupan modernitas menepati janji-janjinya. Janji
emansipasi dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakberanian untuk menjadi
makhluk yang otonom, ternyata bermuara pada totalitarianisme. Cita-cita
emansipasi dan ketunggalan rasio ternyata menghasilkan penjajahan dalam
kerangkeng uniformisasi. Untuk itu, post-modernisme
hadir sebagai sikap skeptisisme[2]
terhadap otoritas, politik, norma-norma budaya, dan lain-lain. Skeptis pada
adanya metanarasi[3]
(grand-narrative) karena permasalahan
yang partikular harus dijelaskan dengan narasi-narasi kecil juga untuk dapat
menyelesaikannya. Sikap skeptis ini dimunculkan oleh Nietzsche, dimana kita
diajak untuk mengkritisi konsep kebenaran yang telah menjadi bentuk otoritas,
maupun nilai dan norma dalam struktur sosial masyarakat.
Diskusi post-modernisme ini juga mencakup pembahasan post-strukturalisme, dimana post-strukturalisme
merupakan perlawanan dari strukturalisme. Post-strukturalisme
merupakan bagian dari pemikiran post-modernisme.
Sebab dalam post-modernisme, walau
agak berbeda secara keseluruhan, memiliki kesamaan sifat tertentu seperti
skeptisisme, anti-foundational, dan tidak suka pada otoritas. Post-strukturalisme merupakan suatu
gerakan yang melingkupi berbagai disiplin intelektual yang telah melibatkan
berbagai penolakan, bukan hanya strukturalisme dan metode, tetapi juga asumsi
ideologis yang melatar belakanginya.
Post-modernisme menjadi semakin
populer ketika Jacques Derrida mengeluarkan teori dekonstruksinya. Metode
dekonstruksi merupakan suatu metode yang dapat memecahkan (pembongkaran) suatu
sistem pemaknaan yang bersifat tetap, isi dari suatu struktur, dimana
strukturnya sendiri tidak bisa didekonstruksi sebab pendekonstruksian itu menjadi
sebuah struktur baru. Dengan dekonstruksi, diharapkan menidak-pusatkan (decentring) logos sehingga akan ada
kekayaan makna yang muncul. Ini disebabkan paradigma kita tentang realitas
tidak bisa keluar dari teks. Derrida menolak pemikiran strukturalis Ferdinand
de Saussure yang begitu keras menekankan makna pada oposisi biner, sebagai
sebuah struktur tetap teks. Karena sikap seperti ini akan membuat setiap makna
yang dihasilkan menjadi final dan tertutup.
Derrida sendiri kadang menyebut teks
sebagai tulisan, jejak, suplemen, perbedaan, sisa, keberulangan, dan tanda.
Semua itu dimaksudkan untuk memberikan penekanan terhadap makna yang senantiasa
terhubung dengan penanda lain, suatu intertekstualitas.
Sehingga pengertian suatu makna tidak tetap. Usaha Derrida tersebut bertujuan
untuk membuat teks tidak lagi stabil, digoyangkan (destabilisasi). Jadi, teks bisa dimaknai berkali-kali, dengan cara
yang berbeda-beda, dan selalu menunjukan instabilitas inherennya.
Pemikirannya Derrida dianut dan sangat
sejalan dengan semangat aliran post-modernisme.
Tetapi, Lyotard tetap pemikir yang paling berpengaruh terhadap filsafat post-modern, yang mengenali dasar-dasar post-modern dan juga yang
memperkenalkannya kepada kita. Pada awal karirnya Lyotard digambarkan sebagai
seorang Marxis. Tetapi, optimisme Lyotard akan Marxisme sebagai teori yang
mampu menjelaskan segala keadaan masyarakat yang sekaligus menciptakan
msyarakat ideal (masyarakat komunis), lama-kelamaan sirna. Karena Marxisme
tidak mampu lagi mencakup berbagai persoalan libido (hasrat) dari setiap
individu yang mengalami. Yang salah dari Marxisme ialah bahwa ia mencoba
menekan hasrat, dan dengan demikian mengungkapkan otoritarianisme latennya
(anti-oedipus). Pada kenyataannya perilaku individu tidak semudah yang
dibayangkan oleh Marxisme (psikoanalisis Freud sangat membantu untuk memahami
kompleksitas bawah sadar kita).
Pemikiran Marxisme tersebut tidak dapat
memprediksi fenomena-fenomena yang anomali, seperti munculnya komunitas
Feminisme. Ini karena di dalam pemikiran Marxisme terdapat narasi besar atau
metanarasi sendiri yang dapat menjelaskan dunia, yang pada akhirnya tidak bisa.
Sehingga, Lyotard memberikan pendapat bahwa narasi kecil adalah cara yang
paling inventif menyebarkan dan menciptakan pengetahuan bahwa mereka dapat terbantu
untuk memecah monopoli tradisional yang dilakukan oleh narasi besar.[4] Tujuan
Lyotard adalah untuk menghancurkan otoritas metasarasi, itu diperlukan untuk
menjadikan setiap individu kreatif.
Apa yang kita diperintahkan untuk
lakukan ialah tidak untuk melawan metanarasi besar tetapi hanya berhenti
mempercayai itu, dalam hal ini, metanarasi akan diasumsikan melenyap. Meskipun
ini adalah pandangan yang agak idealis. Dalam postmodern, hal acuan rakyat
hanya berhenti percaya pada ideologi yang berlaku, yang kemudian tidak lagi
memiliki otoritas untuk menegakkan kehendaknya. Dimana kondisi itu mengakui
tidak adanya kriteria yang mutlak, kondisi itu disebut sebagai paganisme, dan
itu akan menjadi ideal bagaimana kita harus melihat dunia di masa post-modern. Suatu saat ada kejadian
yang tidak dapat diprediksi atau tercakup dalam setiap teori universal yang
rapi, ini adalah bukti adanya keterbatasan narasi, dan juga merupakan keterbukaan
penting dari masa depan. Keterbukaan ini menjadi sebuah pembicaraan ke arah post-modernis.[5]
Ada satu lagi pemikir yang cukup penting
dalam post-modernisme, yairu Jean
Baudrillard. Baudrillard merupakan filsuf Prancis. Dia datang untuk mengkritisi
Marxisme dan strukturalisme. Menurut Baudrillard, dunia post-modernisme ialah dunia simulacra.
Kondisi saat kita tidak bisa lagi membedakan antara realitas dan simulasi.
Dalam kehidupan, banyak pengaruh yang berdatangan dari mana-mana, seperti
imaji-imaji dalam film, TV, internet, dan iklan telah mengakibatkan hilangnya
pembedaan antara hal yang nyata dan mana yang bukan (realitas dan ilusi).
Sehingga suatu budaya menjadi hyper-realitas,
yang mengikis pembedaan di antara hal-hal tersebut.
Filsafat post-modern secara umum melihat tidak perlu untuk konfrontasi
langsung dengan sistem kekuasaan, tetapi lebih ditekankan bagaimana sistem
tersebut dapat dibuat untuk meledak atau hancur dengan sendirinya. Reaksi
terhadap doktrin Marxisme dalam karya pemikir seperti Lyotard dan Baudrillard
dapat dianggap sebagai bagian dari lagi tren budaya yang sekarang dikenal
sebagai Post-marxisme. Marxisme perlu
untuk menyelaraskan diri dengan berbagai gerakan sosial baru yang telah
bermunculan (misalnya feminisme, etnis minoritas dan homoseksual). Dengan kata
lain, Marxisme harus merangkul pluralisme politik untuk dapat diterima
kebenarannya. Laclau dan Mouffe mengklaim bahwa Marxisme perlu direvisi
drastis, atau harus berusaha untuk menjadi pluralis, tidak lagi berpegang pada
kebenaran yang universal.
Pluralitas[6]
yang dialami juga merupakan pluralitas dalam kehidupan seseorang. Ada
pluralitas peran yang harus manusia mainkan dalam kehidupannya. Dengan
hilangnya ideal yang otoritatif, menawarkan apa yang dapat dan boleh diambil
setiap orang untuk menjadi semakin plural. Apa bila dalam kondisi modern orang
hanya dapat peran sebagai pekerja di tempat tertentu, berasal dari negara
tertentu, memeluk agama tertentu, mempuntai gaya dan nilai-nilai hidup
tertentu. Maka dalam kondisi post-modern,
tidak menganggap adanya ketunggalan indentitas lagi. Dalam waktu yang singkat
dan mungkin pada tempat yang sama, seseorang dapat memainkan beberapa peran
sekaligus. Yang jadi masalah ialah bahwa
aturan-aturan yang mengikat orang pada sejumlah peran yang berbeda itu tidak
dimungkinkan adanya keterhubungan, malah saling bertentangan. Dengan demikian
orang memaikan peran-peran yang sebenarnya saling bertentangan dalam kehidupan
yang sama. Sehingga hidup menjadi semakin fragmentaris. Frgmentasi adalah
kenyataan yang mempertanyakan titik pusat dan kesatuan. Hidup yang fragmentaris
ialah hidup yang kesatuannya dipertanyakan.
Jadi, post-modernisme merupakan sebuah kerangka skeptisisme baru atau
versi baru dari skeptisisme, yang bermaksud untuk mendestabilisasi teori-teori.
Walaupun demikian, tentu saja sikap skeptis
terhadap klaim suatu teori, memiliki sistem tersendiri. Sehingga post-modernisme tidak bisa lepas dari
struktur dan metanarasi. Sebab, pluralitas tidak bisa diterpakan secara radikal
di dalam kenyataan, hanya pluralitas semu yang bisa terjadi. Sebuah studi yang
lebih mendalam mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat modern dan post-modern yang berdialektika dengan
ilmu pengetahuan dapat menunjukan bahwa modernitas tidak sehomogen yang dicela
Lyotard, dan pluralitas post-modern
tidak seradikal yang dipromosikannya. Oleh sebab itu, post-modernisme tidak lebih hanya sebagai alat skeptis baru
terhadap kondisi-kondisi yang terjadi di masa kontemporer.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia)
Gaut, Willy. 2011. Filsafat Post-modernisme: Jean-Francois
Lyotard (Flores: Ledalero)
Sim, Stuart. The Routledge Companion to Postmodernism. Routledge Publishing.
London & New York: 2001
[1] Post-modern berarti sesudah,
yang kemudian dari atau yang mengikuti yang modern.
[2] Inggris skepticism, dari Yunani skepsis
(pertimbangan atau keraguan). Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia), hal. 1017
[3] Metanarasi bersifat universal
dan total, tidak menawarkan peluang bagi
heterogenitas.
[4] “Lyotard considers that little narratives are the most inventive way of
disseminating, and creating, knowledge,
and that they help to break down the monopoly traditionally
exercised by grand narratives.”
Lihat Sim, Stuart. The Routledge
Companion to Postmodernism. Routledge Publishing. London & New York:
2001. hal. 9
[5] “This openness becomes an article offaith to postmodernists: the future
must not be considered to be determined in advance such that all human effort
is rendered meaningless.” Ibid. hal. 10
[6] Inggris: pluralism. Dari bahasa Latin pluralis
(jamak). Realitas fundamental bersifat jamak. Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia), hal.
857
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-