Minggu, 26 Juli 2015

Makanan Memiliki Dikotomi Mind ~ Body



Secara umum kita ketahui bahwa makanan (food) adalah suatu benda (substansi) yang dapat dikonsumsi oleh tubuh, baik diolah atau mentah, dan menghasilkan energi untuk beraktivitas.[1] Bagi ilmu pangan, makanan merupakan benda fisik khas yang mengandung berbagai nutrisi dengan berbagai sifat. Seperti, kopi yang memiliki zat kafein atau dalam buah jeruk terdapat vitamin C. Tetapi, yang mau dibahas di sini bukan mengenai hal itu. Namun, saya ingin menjelaskan bahwa dalam membicarakan makanan terdapat dikotomi, yaitu mind[2] dan body[3].
Mungkin sebagian orang percaya bahwa makanan jelas-jelas adalah sebuah materi (body) yang tidak ada hubungannya dengan jiwa atau imateri (mind), dan menyangka orang yang menganggap makanan itu imateri (mind) adalah orang yang tak waras. Hal itu mungkin karena makanan yang dianggap terlalu fisik, sehingga tak layak untuk direfleksi secara lebih mendalam.
Ditambah, makanan mengklaim kesehatan bagi manusia. Pada akhir abad keenam belas, Laksamana Hawkins mencatat dari pengalamannya sendiri bahwa ia mengetahui 10.000 pelaut meninggal karena penyakit gusi berdarah (scurvy). Pada tahun 1750-an, Kapten Cook dalam ekspedisi laut panjang ke Australia, menambahkan buah jeruk dan sayuran segar untuk makanan pelautnya. Hasilnya, penyakit gusi berdarah dapat dicegah atau bahkan disembuhkan. Baru di jaman sekarang, para peneliti menemukan vitamin C di dalam buah jeruk dan penyakit gusi berdarah adalah akibat kurangannya vitamin tersebut.[4]
Dan juga seperti makanan yang alami dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya, makanan utuh (rawfoods) yang telah mengalami sedikit atau tidak ada proses sama sekali, atau makanan mentah. Para pendukung pandangan tersebut percaya bahwa peningkatan asupan makanan mentah menghasilkan signifikan manfaat kesehatan. Mereka mengklaim bahwa mempromosikan penurunan berat badan, mencegah penyakit, dan membantu mengurangi dampak dari penyakit kronis.[5]
Dari pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa seolah-olah makanan memberikan kesehatan atau mengakibatkan penyakit, bila kekurangan makanan, dalam bentuk jasmani (body) saja. Padahal, makanan juga mempengaruhi aspek mental (mind).
Seperti misalnya, penyakit obesitas[6] yang umumnya disebabkan akibat terlalu banyak mengkonsumsi makanan. Padahal penyakit ini diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti faktor gen, perilaku makan, alkohol, merokok, dan lain-lain. Tetapi, yang mau ditekankan di sini adalah faktor psikisnya (mind). Sebab, orang yang obesitas itu percaya (belief) bahwa dengan makan sesuatu dirinya akan menjadi bahagia (belief happy). Penangkapan seorang obesitas bahwa makanan yang ada di depannya menimbulkan belief pada dirinya bahwa rasanya nikmat, sehingga orang itu menjadi bahagia. Hal ini membuat orang itu cepat-cepat ingin memakannya, yang didasarkan oleh state of mind-nya. Karena pada dasarnya bentuk fisik (body) dari makanan itu tidak bisa menyebabkan kita untuk memakannya, tetapi belief dari rasa nikmat yang dapat ditumbulkannya, hal ini terkait dengan mind. Oleh sebab itu, hal yang menimbulkan penyakit obesitas ini bukan karena terlalu banyak porsi makannya (secara bentuk materialnya atau body) saja, tetapi rasa nikmat yang ditimbulkan oleh makanan, yang mengakibatkan kebahagiaan (belief happy atau mind) pada diri seseorang tersus-menerus walau dirinya tak merasakan lapar. Terlihatlah bahwa makanan memiliki dikotomi mind and body.
Namun, para ahli neurologi menolak hal itu. Mereka berpendapat bahwa rasa nikmat yang ditumbulkan oleh makanan disebabkan saraf-saraf yang ada pada tubuh (body) kita, bukan karena belief atau mind kita akan rasa nikmat. Saraf-saraf kita yang kompleks memberikan rangsangan rasa nikmat ketika makanan dikonsumsi. Hal inilah yang menurut mereka perilaku kita dapat ditentukan. Karena, menurut mereka mind itu asal-usulnya adalah saraf atau material (body). Gagasan itu diperkuat dengan pemikiran Gilbert Ryle (1900-1976) yang menganggap mind sebagai sebuah entitas (entity), merupakan sebuah category mistake[7] (kesalahan kategori). Hal itu membuat rasa nikmat yang ditimbulkan oleh makanan ‘melekat’ (atau ‘dilekatkan’ oleh para neurologi) pada saraf-saraf atau body. Dan, menutur mereka kita ini tak memiliki belief atau mind. Sebab, memiliki mind adalah soal cara pandang kita yang mengatakan demikian, menempatkan apa yang kita pandang itu sebagai ‘bagian dari kita’, padahal belum tentu keadaannya demikian. Semata-mata mind hanya untuk memahami suatu tingkah laku dengan menerapkan sesuatu hal (belief, desire, intention, dan sebagainya), yang disebut juga sebagai action-oriented.
Tetapi, mereka tidak dapat menjelaskan kualitas (qualia)[8] rasa yang berbeda dari makanan tersebut. Misalnya, ada dua orang yang sedang mencicipi roti bakar yang sama. Orang pertama ditanyai bagaimana rasa roti tersebut, orang itu bilang bahwa rasa dari roti itu agak manis dan garing. Sedangkan, orang kedua ditanyai hal yang sama, tetapi ia bilang bahwa rasa dari roti bakar itu agak pahit dan sedikit gosong. Dari analogi itu, kita dapat simpulkan bahwa makanan yang sama menimbulkan kualitas (qualia) rasa yang berbeda pada diri seseorang. Di mana, makanan yang menimbulkan perbedaan kualitas rasa itu akibat kesadaran atau mind yang dimiliki seseorang untuk merasakan rasa dari suatu makanan itu sendiri. Kesadaran atau mind yang kita miliki, kita dapat merefleksikan rasa nikmat yang ada pada makanan yang kita konsumsi. Dengan kata lain, perbedaan kualitas (qualia) rasa pada makanan kita ketahui melalui mind dengan cara merefleksikan pengalaman ketika kita mengkonsumsi makanan. Dan merepresentasikannya pengalaman itu kedalam kita sehari-hari. Sebab, mental states kita memiliki aspek intrinsik yang sangat nyata, yaitu ‘bagaimana rasanya’ makanan itu (qualia preference). Misalnya, membedakan rasa apel dengan rasa jeruk, jelas rasa apel berbeda dengan rasa jeruk. Dalam hal itu, ada sesuatu yang mengatakan bagaimana merasakan sesuatu sebagai jeruk atau apel. Hal itu dikarenakan makanan pada sejatinya juga memiliki sisi mental atau mind.
Lagi pula, orang yang menyatakan makanan sebagai sebuah materi (body), sesungguhnya mereka mengakui adanya mind pada sifat makanan. Sebab mereka percaya (belief) kalau makanan itu adalah sebuah materi atau menimbulkan fisik (body). Di mana, belief seperti yang kita jelaskan ialah merupakan bagian dari mind itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya mind itu mendahului konsep materi (body) pada  sesuatu yang kita sebut makanan. Kita percaya (belief) makanan dapat membuat diri kita sehat; kita percaya (belief) kalau kekurangan makanan diri kita akan jatuh sakit; kita percaya (belief) makanan dapat membawakan rasa bahagia; dan sebagainya. Kita mengetahui atau percaya (belief) dulu kalau makanan itu sesuatu yang tertentu, sebab pada dirinya sendiri makanan tidak bisa menentukan siapa dirinya tersebut.
Seperti pemikiran George Berkeley (1685-1753) yang berpendapat bahwa  mind adalah pihak pengatur dan penata hal-hal yang ada di luar kita, hubungan antara hal-hal material event dan mental event yang ditimbulkan oleh makanan adalah hasil ‘pernyataan’ dari mind. Pada pokoknya, makanan itu memberikan subjektivitas (subjectivity) atau mind pada diri manusia. Aspek-aspek materi (body) pada makanan tidak disangkal, tetapi dikembalikan pada subjektivitas.[9] Hal itu tidak menolak objek material (body) pada makanan. Tetapi, yang ditolak adalah makanan, tanpa isi pemahaman tentang makanan. Dapat digambarkan seperti, saat saya ‘sadar’ rasa lezat pada durian, saya dapat ‘ide’ tentang durian. Maksudnya, saya sadar dan saya dapat ide bukan sesuatu hal yang saling berurutan, tetapi sesuatu yang muncul secara bersamaan. hal tersebut menegaskan bahwa mind-independent world sebagai sesuatu yang tidak masuk akal.
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa suatu makanan yang fisik (body) menghasilkan akibat di dalam jiwa (mind) lewat rasa nikmat yang ditimbulkan membuat seseorang jadi bahagia, dan juga sebaliknya. Dalam hal ini, saya tidak membahas bagaimana relasi antara mind dan body tersebut. Tetapi, yang ingin saya tekankan di sini ialah bahwa suatu makanan ternyata memiliki sisi dikotomi mind and body.
Dengan demikian, makanan dianggap sebagai materi (body) oleh sebagian orang, tidak sepenuhnya benar. Karena, ternyata makanan juga memiliki aspek mind, atau bahkan mind-lah yang membangun gagasan makanan sebagai sebuah materi (body). Hal ini terlihat ketika ada dua orang atau lebih yang mencicipi suatu makanan yang sama, tetapi kualitas rasanya (qualia) bisa saja berbeda. Oleh sebab itu, makanan ternyata dalam dirinya memiliki dikotomi mind dan body, yang bukan hanya persoal materi (body) saja, namun juga soal mental (mind).






Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia)
Bakker, Anton. 2000. Antropologi Metafisika (Yogyakarta: Kanisius)
Lean, Michael E. J. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Magee, Bryan.2001. The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius)
Pojman, Paul. 2012. Food Ethics (Boston: Wadsworth)
Stich, Stephen P. dan Ted A. Warfield (edt). 2003.The Blackwell Guide to Philosophy of Mind (USA: Blackwell)


[1] Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 3.
[2] Mind (res cogita) adalah sesuatu yang bebas, tak terbagikan, tak terhancurkan, diketahui secara langsung. Esensi substansi mental adalah kesadaran (consciousness) dan pikiran (thinking) , dari Aristoteles.
[3] Body (res extensa) adalah sesuatu yang tidak bebas, dapat hancur, dapat dibagi-bagi, diketahui secara tidak langsung. Esensi substansi material adalah ekstensi (menempati ruang)
[4] Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 51-52.
[5] Lihat Paul Pojman. 2012. Food Ethics (Boston: Wadsworth) hlm. 2.
[6] Obesitas didefinisikan secara medis ialah seseorang yang memiliki indeks massa tubuh (BMI) 30 kg/m2 atau lingkar pinggang >102cm untuk laki-laki dan lingkar pinggang >88cm untuk perempuan. Lihat Michael E. J. Lean. 2013. Ilmu Pangan, Gizi & Kesehatan; Edisi ke-7 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 87.
[7] Category mistake (dalam hal ini) menganggap bahwa mental atau mind sebagai sesuatu yang memiliki kategori tersendiri, padahal tidak.
[8] Dari bahasa Latin yang berarti sifat, kodrat, keadaan, jenis, kondisi. Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia) hlm. 923.
[9] Lihat Anton Bakker. 2000. Antropologi Metafisika (Yogyakarta: Kanisius) hlm. 97.


Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-

Kamis, 16 Juli 2015

Dirty Hands Sebagai Pembentuk Stabilitas Negara

Pada kesempatan kali ini saya akan memaparkan sedikit tema skripsi yang saya bahas. Saya akan memberikan abstrak serta latar belakang permasalahan yang ada dalam skripsi saya. Jika anda ingin membaca full version skripsi saya, anda dapat membacanya di perpustakaan UI kampus depok atau mencari di website lib.ui.ac.id.





DIRTY HANDS SEBAGAI PEMBENTUK STABILITAS NEGARA
(Kritik Atas Moralisme Dalam Politik)


Abstrak

Politics is an understanding to manage, administer policies, and decision-making for people welfare. However, often political action can not be separated from dirty hands in order to achieve political goal. Machiavelli suggests that political actors must learn how not to be good. In the contemporary times, discussion about dirty hands raised again in the writings of Michael Walzer. Walzer says that dirty hands need for a political actor when no other alternative but to violate morality rules for the sake of political goal or to avoid the possibility of a threat. Discussion about dirty hands with morality requires critical reflection to find a way out in order to find the right political action.

Keywords: Dirty Hands, Political Actors, Morality, Moral Absolute, Moral Consequentialist, Moral Dilemma, Emergency Situations, Machiavelli, Michael Walzer.



Pendahuluan
        Konsepsi politik[1] merupakan suatu bentuk pemahaman perkara mengelola, menyelenggarakan kebijakan, dan pengambilan keputusan untuk menyejahterakan rakyat. Manusia disebut juga sebagai zoon politicon[2], di mana manusia diartikan sebagai hewan (makhluk) yang bermasyarakat. Dengan kata lain, manusia memiliki kodrat untuk mengorganisir diri dan sesamanya guna mencapai tujuan. Namun, deskripsi orang mengenai politik berkonotasi negatif. Karena kerap kali dalam tindakannya, politik melanggar moralitas. Politik mengalami degradasi bahwa politik selalu diklaim sebagai tindakan yang melanggar kaidah moral[3], di mana moralitas menjadi patokan dalam menentukan tindakan politik guna mencapai suatu keputusan yang tepat. Padahal, dalam ranah politik tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan moral, khususnya moralisme. Hal ini membuat politik sering disalah artikan dalam maksud yang sebenarnya. Perihal politik dimengerti bukan semata-mata bertentangan dengan nilai kebaikan yang ada pada diri manusia tetapi apa yang tak terhindarkan dalam nilai kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian, dalam tindakannya, politik terkadang melakukan pelanggaran terhadap moral yang sering disebut sebagai tindakan yang kotor atau ‘tangan kotor’ (dirty hands).
Dalam kaitannya dengan dirty hands, perlu membedakan antara moralisme dengan moralitas. Moralisme adalah pandangan yang menitik beratkan pada nilai moral dan menganggap nilai moral sebagai nilai yang paling luhur, sehingga kewajiban manusia terutama adalah menyelenggarakan nilai moral itu. Hal itu tentu saja membuat beberapa hal lain menjadi tidak penting. Berbeda dengan moralisme, moralitas dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat. Dirty hands merupakan suatu tindakan yang masih memiliki penilaian terhadap moral, tetapi terkadang perlu melanggar moral bila terjadi benturan antara dua nilai moral.
Dalam tindakannya, dirty hands bukan penilaian atas baik atau buruk suatu tindakan, tetapi bertolak dari segi keefektifan tindakan itu dalam politik. Hal itu mengantarkan cita-cita politik untuk menciptakan kehidupan bernegara. Dirty hands sangat efektif bagi penguasa dalam menjalankan politiknya, terlebih lagi dalam situasi darurat. Karena mempertimbangakan hal yang baik dan buruk, bukan urusan politik dan kalaupun dipikirkan akan memerlukan waktu yang lama. Hal itu bermaksud untuk melihat moralitas dalam konteksnya bukan berdasarkan atas nilai-nilai absolut moral semata. Dengan kata lain, pemahaman yang melebih-lebihkan nilai moral harus dapat dipisahkan dalam ranah politik, karena bisa menjadi penghalang bagi politik. Untuk itu, politik dapat dipahami sebagai apa yang nyatanya dilakukan oleh penguasa, bukan apa yang seharusnya dilakukan.
Tidak dapat dipungkiri dalam menjalanan pemerintahan, penguasa dan para aktor politik bertindak kotor. Namun, dirty hands itu merupakan cara yang efektif guna mengantarkan penguasa untuk mencapai tujuan stabilitas negara. Hal ini menjadi sesuatu yang paradoks bila dilihat dari sudut pandang etika politik. Di satu sisi, tindakan itu tidak dapat dibenarkan karena melanggar moralitas. Dan, di sisi lain, tindakan itu benar dikarenakan mengantarkan pada tujuan dalam berpolitik.
Penguasa sebagai peran yang melakoni dirty hands harus mampu dalam melaksanakan tindakan tersebut, walau melanggar berbagai keyakinan moral, yang sempat dia pegang, untuk mencapai apa yang disebut sebagai tindakan politik yang tepat. Pada titik ini penguasa mengalami apa yang disebut sebagai dilema moral. Penguasa mengetahu bahwa tindakannya bisa membawa pada keburukan atau kebaikan, tergantung pada pilihan penguasa. Namun, penguasa harus memikirkan segera cara yang dapat menyelamatkan sebanyak mungkin warganya atau meminimalkan jatuhnya korban.
Permasalahan yang muncul ialah mencoba mempertimbangkan kembali konsepsi moral yang ada pada tindakan politik, khususnya dalam dirty hands. Hal ini berkaitan dengan moralitas yang selalu menjadi pembicaraan bila membahas dirty hands, yaitu moral absolutisme dan konsekuensialisme. Di mana dirty hands selalu disamakan dengan moral konsekuensialis dan bertentangan dengan moral absolut.
Selain itu, permasalahan juga muncul dalam diri seorang penguasa dalam melakukan dirty hands. Dalam melakukan politik dirty hands, penguasa sadar bahwa tindakannya itu dapat melanggar moralitas. Pada kasus ini, membahas tentang dilema moral yang dialami penguasa saat melakukan dirty hands. Kesadaran penguasa akan konteks sosial dan pemahamannya dari apa yang merupakan tindakan politis menjadi fokus perhatian.
Untuk mengatasi permasalahan itu dibutuhkan pemahaman tentang dinamika antara tindakan politik dengan tuntutan-tuntutan moral yang mengaku melandasi tindakan politik (yaitu seperti tuntutan moral absolut serta tuntutan moral konsekuensialis dalam bertindak). Kompleksitas permasalahan itu timbul karena dalam filsafat politik belum menemukan apa yang disebut sebagai politik yang tepat.
       Potret politik pada masa ini memang penuh dengan kerumitan mengenai moralitas. Permasalahan tentang dirty hands membawa relevansi pemikiran Machiavelli pada filsafat politik kontemporer. Pembahasan mengenai persoalan dirty hands dengan moralitas itu membutuhkan refleksi kritis untuk menemukan jalan keluar guna menemukan tindakan politik yang tepat. Hal itu menuntut untuk menemukan koherensi kerangka pemikiran yang paling tepat dalam politik untuk bertindak. Masalah ini didasari atas kompleksitas hubungan antara filsafat, politik, dan moral.



[1] Inggris: politics; dari Yunani politikos (menyangkut warganegara) polites (seorang warganegara) polis (kota, negara) politeia (kewargaan). Lihat Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat, hlm. 857
[2] Kata zoon politicon merupakan padanan kata dari kata zoon yang berarti "hewan" dan kata politicon yang berarti "bermasyarakat". Secara harfiah zoon politicon berarti hewan yang bermasyarakat.
[3] Inggris: Moral; dari Latin moralismos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Lihat Loren Bagus, op.cit, hlm. 672



Dilarang Melakukan Plagiarisme!
-Plagiarism is using others’ ideas and words without clearly acknowledging the source of that information-

Buku Keren Yang Harus Dibaca

Seperti kata pepatah bahwa buku adalah jendela dunia, ucapan itu betul adanya sebab kita menjadi banyak tahu tentang berbagai hal. Terlebih lagi buku ialah buah pikir seseorang yang telah masak dan dituangkanlah lewat sebuah tulisan, sehingga kita mendapat informasi secara efektif dan efisien. Pada kesempatan kali ini, saya akan memberikan daftar bacaan yang wajib anda baca: 


1. The Magic of The Reality (Richard Dawkins)
Buku sains populer yang sangat lengkap yang harus dimiliki bagi setiap pembaca, karena menyajikan berbagai pembahan menarik mengenai apa saja fenomena yang terjadi pada kehidupan manusia di alam semesta ini. Mulai dari pembahasan mengenai siapa itu manusia, siapakah manusia pertama, sampai bagaimana planet ini berjalan dengan sendirinya. Penulis menerangkan melalui pendekatan mitos terlebih dahulu, selanjutnya dengan penjelasan ilmiah.
2. Dunia Sophie (Jostein Gaarder)
Buku ini merupaka sebuah novel filsafat yang dikemas dengan apik dan enak dibaca. Membuat pembaca yang awam mengenai filsafat akan mudah memahami makna filsafat. Melalui dialog antar karakter dalam novel tersebut, penulis mencoba menyajikan teori filsafat dengan mudah dan sangat keseharian sekali sehingga pembaca dapat ikut berfilsafat di dalamnya.
3. Gadis Jeruk (Jostein Gaarder)
Buku ini menceritakan seorang lelaki yang mencari cinta dan makna hidupnya di dunia. Tentu ini merupakan sebuah buku novel roman, namun tidak hanya menampilkan sisi percintaan tetapi juga menampilkan persoalan filosofi seperti kenapa kita hidup di alam semesta yang begitu luas ini. buku ini membahas tema-tema seperti  kisah cinta, filsafat hidup, dan astronomi.
4. Dunia Anna (Jostein Gaarder)
Buku yang menceritakan seorang anak yang mendapat pesan dari nenek buyutnya. Novel ini mengangkat tema tentang lingkungan alam yang rusak oleh perilaku manusia. Buku yang mengajak pembaca untuk merenungkan kembali eksistensi manusia dan semesta.
5. The Grand Design (Stephen Hawking)
Buku yang memperlihatkan bagaimana cara alam semesta ini bekerja dengan sendirinya. Penulis memberikan contoh-contoh dan teori yang membenarkan bahwa alam semesta ini sangat unik dan istimewa. Buku sains populer ini mau membuktikan bahwa tatanan bumi atau alam semesta ini sudah ada demikian tanpa campur tangan siapa pun. Buku ini mengusung tema sains, astronomi, dan religion. 
6. The Geography of Bliss (Eric Weiner)
Buku dokumenter ini mengisahkan perjalanan penulis menyusuri negara-negara yang katanya memiliki kebahagiaan tertinggi. Namun, sepanjang jalan penulis melihat bahwa setiap negara mempunyai masalah yang mungkin kita tidak sadari. Buku ini mengusung perpaduan psikologis, sains, dan humor, tentu ringan untuk dibaca.
7. Thinking Fast and Slow (Daniel Kahneman)
Buku ini menyajikan sebuah putusan untuk seorang yang bergerak dalam dunia bisnis. Pasalnya seorang pebisnis atau ekonom harus cepat mengambil tindakan. Buku ini sangat unik karena memberikan pendekatan yang baru, yaitu melihat melalui prespektif psikologi. Dengan demikian, buku ini membahas bidang ekonomi, psikologi, dan sains.
8. The Black Swan (Nassim N. Taleb)
Masih buku tentang ekonomi, namun buku ini menampilkan bagaimana ilmu ekonomi dapat keliru. Kekeliruan itu kerap kali terjadi dalam setiap pengambilan keputusan kejibakan yang dilakukan oleh seorang ekonom itu sendiri. Penulis memperlihatkan faktor-faktor apa saja yang membuat ilmu ekonomi terjatuh dalam kekeliruannya. Buku ini mengangkat tema sains, ilmu ekonomi, dan statistika.



Daftar buku yang saya sajikan di atas tentu saja menurut sudut pandang saya bagus dan keren. Namun, apa salahnya bila anda baca buku-buku tersebut dari pada buang-buang waktu untuk melakukan hal yang tidak bermanfaat, lebih baik kita mencari informasi sebanyak mungkin supaya kita tidak gambang terjerat dalam suatu pemikiran yang sempit. Buku-buku itu dapat anda cari di toko buku terdekat, bila kesulitan mencari, coba saja kunjingi website toko buku yang ada atau berkunjung ke tukang pengepul buku lama.


*Notes
Hijau=Ringan Dibaca
Kuning=Sedikit Sulit Dibaca
Merah=Sulit Dibaca